Ini Asal Mula Pasar Rakyat Bima yang Sekarang Begitu Ramai

Senin 11-04-2016,10:44 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Berawal dari tempat nongkrongan para pemuda-pemudi dan event setiap akhir pekan, para pedagang  yang awalnya hanya beberapa orang saja kini berkembang menjadi pasar rakyat. Kendati demikian, keramaian yang tercipta ini justru luput dari perhatian pemerintah. Laporan: NURVIA PAHLAWANITA, Kesambi JALANAN becek, parkir sembarangan dan lapak jualan seadanya menjadi cerminan pasar rakyat di kompleks olahraga Stadion Bima. Pusat keramaian ini hanya dikelola masyarakat sekitar, terutama untuk urusan kebersihan dan parkir. Selebihnya, pemerintah seolah tidak hadir. Sekitar enam tahun lalu di saat jam menunjukan pukul 06.00 hingga 10.00 WIB, area di sekitar Stadion Bima menjadi pasar dadakan. Beragam pernak-pernik hadir dijajakan para penjual. Dari aksesori rumah tangga, mainan anak, hingga kebutuhan fashion. \"Awalnya satu dua yang jualan. Tapi karena sering dijadikan tempat event dan tongkrongan anak muda jadinya dengan sendirinya satu persatu warga mulai berdatangan untuk menjajakan dagangannya,\" kata Sesepuh pedagang di Stadion Bima, Mui Syafi\'I, kepada Radar, Minggu (10/4). Hampir 80 persen pedagang pasar dadakan di Kompleks Bima menjual aneka pakaian selebihnya makanan, mainan dan kelontongan. Bahkan, belakangan ini minimarket pun tak mau kalah. Tiap Minggu pagi banyak minimarket terkenal turut membuka lapaknya. \"Banyak barang-barang dari minimarket atau mall juga ikut dijajakan disini, mungkin promosi juga,\" tuturnya. Rata-rata pedagang di Stadion Bima menjadikan usaha ini sebagai sampingan. Sehari-hari banyak diantara mereka yang berprofesi sebagai karyawan swasta dan pegawai negeri sipil (PNS). Tapi, ada juga pedagang pasar malam yang nimbrung jualan. Para pedagang dadakan ini biasanya membuka usaha dengan konsep food truck. Ada juga yang menggunakan mobilnya untuk jualan sepatu, baju dan perabotan rumah tangga. Untuk pedagang yang sudah lebih serius, biasanya membuka tenda dan sudah punya tempat khusus. “Dulu rebutan, siapa datang paling pagi ya dapat tempat bagus. Kalau sekarang mereka sudah ditentukan tempatnya,” katanya. Salah seorang pedagang dadakan di Stadion Bima, Wulandari mengaku, awalnya tak berniat membuka usaha. Lapak yang dibukanya bersama rekan-rekannya di Fakultas Ekonomi Unswagati, sekadar untuk tempat kumpul di akhir pekan sembari iseng jualan kerudung. Tak disangka, usaha ini malah bertahan hingga kini. \"Saya ngulak (belanja) kadang di Pasar Kanoman, kadang di Pasar Tegalgubug. Lumayan kalau belinya partai besar harganya jauh lebih murah dan akhirnya kami jual kembali di sinikatanya,\" paparnya. Pedagang di pasar dadakan juga tak terlalu terbebani dengan biaya yang ditetapkan pengelola. Untuk bisa berjualan cukup bayar Rp5 ribu. Uang itu untuk kebersihan lokasi. Sedangkan untuk yang berjualan di kendaraan, biasanya dikenakan biaya parkir Rp2 ribu. “Kadang kalau pedagang yang sepi minta toleransi, ya ada juga yang bayar karcis cuma Rp2 ribu,” tutur Rumiah, yang setiap pekan menjadi petugas karcisdi  pasar rakyat Stadion Bima. Untuk pedagang makanan, pasar rakyat Stadion Bima merupakan berkah tersendiri. Omzet jualan mereka bisa tiba-tiba melonjak. Sebab, selain berolahraga warga yang berkunjung juga cari sarapan pagi. “Rezeki sudah ada yang atur. Pedagangnya banyak, tapi pembelinya juga banyak,” tutur pedagang kaki lima asal Keluruhan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Maksum. Hal serupa dirasakan pedagang pakaian asal Desa Jemaras Lor, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon, Nurhayati. Baginya, kehadiran pasar dadakan di komplek Stadion Bima merupakan mata pencaharian yang bisa dihandalkan. \"Hari-hari biasa saya jualan di pasar paling habis 10-20 kodi, tapi di sini bisa lebih. Bisa dibilang mremanya di sini,\"ujarnya. Koriah salah satu pedagang madu mengaku bahwa dirinya sengaja mengais rejeki sepekan sekali di Komplek Stadion Bima lantaran keuntungan yang berlipat-lipat. \"Sehari-hari saya ngajar sebagai guru agama, tapi karena lihat peluang dan sudah dapat tempat ya saya jadi jualan di sini,” katanya. Apa saja dijual Koriah. Kadang jualan kerudung, pakaian dalam, aksesoris, terkadang jualan madu. Sudah dua tahun Koriah yang guru honorer jualan di Stadion Bima. Hasil jualannya setiap akhir pekan ternyata mampu menutupi kebutuhan rumah tangganya. Namun, keramaian di Stadion Bima tiap akhir pekan juga menghadirkan cerita miris. Areal kompleks olahraga yang menjadi tempat jualan jauh dari kesan tertata. Jalanan becek, kubangan air mendominsai jalanan di kawasan stadion. Saat hujan mengguyur, Minggu (10/4), serentak pedagang bubar. Beruntung di balik buruknya infrastruktur di kawasan itu, para pembeli masih terus berdatangan dan terus kembali setiap pekannya. Begitu juga warga yang berolahraga di Minggu pagi. Alasan mereka, tak ada lagi ruang publik yang lebih baik. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait