Melihat anak-anak tumbuh dan berkembang merupakan suatu hal yang menyenangkan bagi orang tua. Namun, bila dalam masa perkembangannya anak mengalami suatu gangguan, muncul berbagai macam reaksi orang tua yang membutuhkan penyesuaian diri. Inilah perlunya deteksi dini autisme. TUBUHNYA tegap, senyuman manis. Siapapun yang melihatnya tak percaya bahwa siswa kelas 2 SMP itu pernah memiliki riwayat spektrum autism pervasive developmental disorder not otherwise specified (PDDNOS). Sekilas tak ada yang berbeda. Namun, putra dari Tri Gunadi ini mengalami gangguan yang bersifat neurologis. Gangguan ini memengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Sebagai orang tua, Tri menyadari, ada beban berat bagi dirinya sebagai orang tua. Bukan hanya soal keterlibatan mereka dalam proses terapi si anak, tapi juga terkait dengan faktor eksternal. Yaitu, belum adanya pemahaman yang tepat tentang anak autis dari orang-orang sekitar. \"Saya yang tahu tentang autisme saja sempat shock saat mengetahui anak saya didiagnosis autis. Dunia seolah mau runtuh. Bayangkan bagaimana orang tua yang tidak tahu tentang kondisi anaknya yang autis,\" ceritanya. Di keluarga besar pasangan Gunadi dan Anggita Yuliastuti, Verrel yang lahir pada 2001, merupakan cucu pertama. Wajar bila anggota keluarga lainnya menaruh harapan tinggi kepada buah hati dari pasangan tersebut. Beruntung, Gunadi dan Anggita sebelum menikah keduanya kerap terjun di bidang terapi anak-anak berkebutuhan khusus. Sehingga memiliki pengalaman dasar atas apa yang menimpa buah hatinya. Verrel mulai menjalani terapi saat berusia 18 bulan. Tidak hanya dititipkan kepada terapis di Klinik Tumbuh Kembang Anak Yamet yang didirikannya bersama sang istri, Verrel juga diterapi sendiri oleh Gunadi. \"Bahkan, eyang-eyangnya juga ikut menerapi. Alhamdulillah, semua kooperatif,\" tutur dia. Memang dibutuhkan kesabaran ekstra untuk menanti progres hasil terapi pasien autisme. Hingga usia tiga tahun, Verrel belum bisa berbicara satu kata pun. \"Sekali lagi, saya yang tahu ilmunya saja juga sempat stres menghadapi situasi itu,\" kenangnya. Sampai-sampai dia ikut-ikutan melakukan tindakan yang tidak masuk akal secara keilmuan. Sebelum kembali berfokus pada tahap-tahap terapi dengan menyiapkan dan menyajikan 500 konsep kata, dia sempat mengikuti saran sejumlah orang. Yaitu, mengibas-ngibaskan lima lembar daun sirih yang ditanam di halaman rumahnya ke lidah Verrel hingga mengerok lidah Verrel dengan cincin kawin. \"Itu saking stresnya saya. Saya saja mengalami situasi seperti itu, apalagi orang awam yang nggak tahu apa-apa soal terapi autisme,\" tambahnya. Hasil ketekunan Gunadi dan keluarga akhirnya terlihat. Menginjak usia 3,5 tahun, Verrel bisa mengucapkan kata-kata. Verrel menjalani terapi di Klinik Yamet hingga umur lima tahun. Hasilnya, Verrel kini tumbuh seperti anak-anak pada umumnya. Bahkan, saat ini Verrel menjadi siswa di SMP international school dan mahir bermain keyboard. Psikolog Stefani Pekasa MPSi mengatakan, autisme ada tiga ciri utama. Yaitu gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi dan bahasa serta gangguan perilaku. Gangguan interaksi sosial bentuknya tidak menengok saat dipanggil, tidak ada kontak mata, tidak peduli dengan lingkungan, menghindar bila didekati dan tidak mau bermain dengan anak sebaya. \"Gangguan komunikasi dan bahasa bentuknya perkembangan bicara yang lambat. Kalaupun sudah bicara tidak mengerti arti katanya, komunikasi tidak dua arah, kosa kata terbalik-balik atau mengulang-ulang kata yang diucapkan,\" jelasnya. Kemudian, gangguan perilaku dalam bentuk hiperaktifitas atau hipoaktifitas, tidak terarah, melakukan sesuatu berulang-ulang, senang melihat benda berputar, menyendiri, kuram motivasi, perilaku dan minat terbatas itu-itu saja. Untuk terapi, Stefani menjelaskan, ada bermacam-macam terapi yang bisa dilakukan. \"Tergantung gejala yang nampak, tapi biasanya diperlukan terapi perilaku, terapi okupasi untuk melatih koordinasi gerakannya dan hiperaktifitasnya,\" tuturnya. Ya, sepintas anak autis terlihat sangat normal, tetapi memiliki tingkah laku yang berbeda dari anak-anak lain. Penyebabnya tak lain karena sistem syaraf pusat berkembang tidak sempurna sehingga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa, proses belajar, serta berkomunikasi. Butuh ketekunan serta kesabaran ekstra bagi para orangtua yang memiliki anak autis. \"Jangan menyerah, ada fase dimana mereka down, tapi mereka harus bangkit kembali dan konsisten dengan diet dan terapi. Komitmen orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap prognosa positif seorang anak berkebutuhan khusus,\" pungkasnya. (mike dwi setiawati)
Mengenal Gejala Autisme Penting untuk Deteksi Dini
Rabu 04-05-2016,21:35 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :