Why I Love Bu Risma

Rabu 21-09-2016,09:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

MUNGKIN sudah jadi rahasia umum, khususnya di Surabaya, bahwa saya ini penggemar berat Bu Risma. Walau warga Surabaya mungkin sudah harus berpikir serius tentang life after Risma.  *** TAHUN 2010. Surabaya benar-benar kota yang beruntung. Menurut saya, waktu itu kota ini punya dua pilihan calon wali kota yang sangat baik. Mas Arif Afandi orang yang sangat baik dan sangat bisa diandalkan, Bu Risma orang yang kerjanya gila-gilaan. Siapa pun yang menang waktu itu, Surabaya mungkin tetap menjadi kota yang berada di atas rata-rata. Apalagi, wali kota sebelum itu, Bambang D.H., menurut saya, juga telah bekerja luar biasa, menempatkan Surabaya di arah yang benar. Pada akhirnya, Bu Risma waktu itu terpilih. Dan waktu itu saya sempat berpikir, andai Pak Bambang boleh satu periode lagi, setelah itu Bu Risma dua periode. Wow, selama 15 tahun Surabaya bakal keren. Tidak percaya kalau Surabaya ini beruntung? Lihat saja berbagai pemilihan gubernur, wali kota, atau bupati di berbagai wilayah. Kadang masyarakat wilayah tersebut tidak punya opsi yang baik. Ada daerah yang punya dua opsi mengerikan: Satu kucing dalam karung, tidak jelas bakal seperti apa; satu lagi kucing yang sudah kelihatan kulitnya, tetap akan mengkhawatirkan kalau kembali dipilih. Ada juga yang benar-benar tidak punya pilihan. Akhirnya ya sudah, tetap yang ini saja, daripada kalau memilih yang lain justru makin berantakan. Bayangkan betapa krusialnya ini. Siapa pun yang dipilih, karena dia memimpin/menata/mengatur/melayani daerah tempat kita tinggal, dia akan menentukan kualitas hidup kita secara langsung dalam beberapa tahun ke depan. Kalau pilihannya benar, idealnya tidak ada banjir, penataan kota rapi, dan segala hal yang berkaitan dengan kualitas hidup membaik. Kalau pilihannya salah, maka situasi bukannya akan terus buruk, karena justru akan terus memburuk. Kalau masalah baru ”bayi” tidak diatasi, beberapa tahun kemudian masalah akan tumbuh menjadi monster dan semakin tidak mungkin diselesaikan. Saya kali pertama bertemu Bu Risma beberapa tahun sebelum 2010 itu. Saya tidak ingat pastinya kapan. Tapi, secara instan saya langsung jadi fans. Dalam hati saya, ini ibu benar-benar gila. Waktu itu kepala dinas kebersihan dan pertamanan, hasil kerjanya benar-benar kelihatan. Sebelum 2010 itu, taman-taman di Surabaya sudah terlihat indah. Sekarang makin spektakuler. Sebagai perbandingan, banyak kota lain yang sekarang mencoba meniru keindahan ala Bu Risma, tapi saya belum melihat satu pun yang bisa seperti Surabaya. Dan kerjaan saya banyak keliling ke seluruh Indonesia! Terus terang, waktu itu ”kecintaan” saya terhadap Bu Risma tergolong buta. Saya sangat yakin dan percaya, ini orang yang bekerja dengan hati, orang yang bekerja tanpa banyak berpikir aneh-aneh. Dan waktu itu warga Surabaya belum semuanya sadar betapa hebatnya Bu Risma. Pernah, saat mencoba membersihkan sebuah kawasan kumuh dan menanaminya dengan tanaman, beliau dilempari dengan telur oleh warga! Betapa tangguhnya Bu Risma-ku yang tercinta... Dia bukan politikus dan saya rasa sampai sekarang pun bukan seorang politikus. Itu tentu ada plus-minusnya. Sebab, kita tahu di Indonesia ini butuh kelihaian tertentu untuk mengatasi berbagai masalah politik. Tapi, selama dilawan dengan hasil kerja yang nyata, saya yakin tidak ada masalah politik yang bisa menghalangi beliau. Bu Risma mungkin juga bukan orang yang bisa mendelegasikan pekerjaan dengan total. Kadang saya merasa Bu Risma terlalu hands on dalam mengerjakan segala hal. Tapi, untuk kebutuhan manajemen kota/wilayah seperti di Indonesia, mungkin itu sesuatu yang dibutuhkan. Pada hari ini, saya selalu berharap dan berdoa, semoga masyarakat kita terus makin pintar dalam memilih. Bahwa orang yang jago di media sosial belum tentu orang yang benar-benar jago dalam bekerja. Dalam beberapa pekan terakhir, entah berapa banyak orang yang meminta saya untuk menulis tentang Bu Risma. Apalagi ketika santer berita beliau akan diminta untuk maju di pemilihan di Jakarta. Tapi, saya terus menolak untuk menulis itu. Satu, saya sebenarnya tidak ingin menulis soal politik. Bahwa akhirnya hari ini saya menulis tentang Bu Risma, saya mencoba supaya tulisan ini tidak menjadi tulisan politik. Selama bertahun-tahun ini, dan pada dasarnya sejak Bu Risma menjadi wali kota, saya sangat membatasi pertemuan dengan beliau. Entah berapa banyak orang yang minta tolong kepada saya untuk dihubungkan dengan beliau, tapi saya tidak pernah memenuhinya. Saya tidak mau mengganggu Bu Risma.  Bahkan ketika santer pembicaraan soal Bu Risma ke Jakarta, saya tak sekali pun berbicara dengan Bu Risma soal itu. Saat bertemu pun, saya tak mau bicara soal itu. Tanya saja Bu Risma kalau tidak percaya. Saya bisa merasakan betapa banyaknya warga Surabaya yang kecewa kalau Bu Risma jadi ke Jakarta. Tapi, saya tidak perlu menyampaikan itu kepada Bu Risma. Karena saya yakin beliau tahu soal itu. Sekarang, tampaknya, kekhawatiran itu tidak akan terjadi. Bu Risma saat ini tetap di Surabaya. Meski demikian, sebagai orang yang ber-KTP Surabaya, saya tetap harus berpikir tentang life after Risma. Karena ini akan berkaitan langsung dengan kualitas hidup saya dan keluarga saya pada masa mendatang. Paling tidak pada 2020, Surabaya akan menghadapi masalah yang sudah sepuluh tahun tidak dipunyai: memilih lagi sosok baru untuk memimpin Kota Pahlawan. Kota yang beruntung dalam dua pemilihan terakhir, bisa-bisa bernasib seperti kebanyakan kota lain. Dan Surabaya akan beda dengan kebanyakan. Sebab, Surabaya telanjur punya standar yang begitu tinggi. Ini juga tantangan bagi mereka yang punya ambisi jadi penerus Bu Risma. Warga Surabaya sudah pintar, sudah bisa menilai mana yang benar-benar bekerja atau sekadar banyak bicara. Seandainya ada pilihan-pilihan, warga Surabaya akan mencari yang minimal seperti Bu Risma. Tapi, ini yang paling saya takutkan sampai ke ubun-ubun: Bagaimana kalau Surabaya ternyata tidak beruntung dan tidak mendapatkan pilihan yang minimal seperti Bu Risma… (*)

Tags :
Kategori :

Terkait