Usai Salat Isya, Tak Ada Malam Takbiran

Rabu 22-08-2012,09:25 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

SABTU malam (18/8), waktu Makkah, sudah diketahui Hari Raya Idulfitri akan jatuh pada esok harinya, Minggu (19/8) sama seperti di Indonesia. Tetapi selesai salat Isya di Masjidil Haram, tanda-tanda akan perayaan hari besar itu tidak terasa. Yang terasa hanyalah suasana Masjidil Haram mulai lengang. Banyak jamaah yang sudah pulang dan merayakan Idulfitri di negaranya masing-masing. Niat hati untuk ikut \"malam takbiran\" di Masjidil Haram harus dipendam. Usai salat Isya, tidak ada kalimah takbir, tauhid, dan tahmid yang berkumandang, baik dari Imam Besar Masjidil Haram maupun dari para jamaah. Di sudut-sudut masjid ada jamaah yang masih iktikaf, dan di samping Kakbah ada juga yang masih tawaf. Mereka sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri. \"Kok sepi ya Mas? Mana takbirannya?\" kata Wahyono Soekardjo (69), jamaah umrah asal Kompleks Cimanuk Kota Cirebon, bertanya kepada saya. Wahyono ternyata ingin membuktikan cerita rekan-rekannya yang pernah Lebaran di Tanah Suci, bahwa Idulfitri di Makkah tidak seramai di Indonesia. Pensiunan Departemen PU Jakarta ini pun semakin yakin kalau tradisi mudik, malam takbiran, dan halalbihalal hanya milik Indonesia. Begitupun hiruk pikuk orang yang membayarkan zakat fitrahnya, hanya terlihat di tanah air. Karena sepi, saya dan Wahyono, malam itu memutuskan untuk meninggalkan masjid kembali ke pemondokan yang berjarak 600 meter. Untuk mengobati kangen suasana Indonesia akan suara takbiran, di kamar kami memutar takbiran Ustad Jefri Al Bukhori dari Youtube melalui tab yang saya bawa. Alhamdulillah, rasa kangen untuk berlebaran di Indonesia sedikit terobati. Tak terasa, alunan takbiran dari Uje itu rupanya membawa kami semua tertidur pulas dan terbangun saat waktu salat Subuh. Usai salat Subuh, suasana Lebaran mulai terasa. Masjidil Haram mulai ramai lagi, bahkan penuh. Rupanya, semua warga Makkah melaksanakan salat Id di masjid itu. Saya dan rombongan yang datang satu jam sebelum salat Id sudah tidak bisa masuk masjid, hanya kebagian di jalanan aspal di samping masjid tempat bus dan taksi cari penumpang. Saat hari Lebaran, pengemis --yang kebanyakan warga kulit hitam-- duduk-duduk di sepanjang jalan menuju Masjidil Haram. Jumlahnya makin banyak dari biasanya. Pengemis ini yang biasa mangkal di tempat-tempat bersejarah di Tanah Suci Makkah, datang mendekat ke kawasan Masjidil Haram mengharap iba dari jamaah salat Id. Tak sedikit pengemis yang menggendong bayinya, yang tampak tidak terurus. Sekilas, benar-benar membuat hati terenyuh. Beberapa di antaranya, bahkan ada yang tiduran di jalanan dan menarik-narik celana orang yang lewat. Suara takbir dari pengeras suara Masjidil Haram baru terdengar ketika jamaah sudah memenuhi masjid. Itupun hanya sesekali. Selebihnya diucapkan oleh para jamaah di samping kiri dan kanan saya. Apakah mengikuti anjuran Imam Abu Hanifah Ra? Bahwa disunahkan bertakbir tapi tidak nyaring di hari raya Idulfitri ketika keluar dari rumah menuju dan berhenti ketika sampai tempat salat Id. Pendapat ini diambil dari Hadis Ahmad, Ibnu Hibban, Baihaqi; bahwa sebaik-baik zikir adalah yang tidak nyaring (khofy) dan sebaik-baik rizki adalah yang mencukupi (tidak berlebihan). Begitu juga tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu kalau salat Id akan dimulai, seperti layaknya di Indonesia ada pemberitahuan salat Id akan dimulai berapa menit lagi, atau memberitahukan nama imam dan khotib salat Id. Di sini, tiba-tiba terdengar suara Iqomah dan imam langsung memimpin salat. Jamaah pun serentak langsung berdiri dan mengikuti salat. Usai salat, terdengar khotbah. Tapi sebagian jamaah sudah meninggalkan masjid, mirip di Indonesia. Baru tahu ketika mereka meninggalkan masjid, baju khas Timur Tengah yang mereka kenakan serbabaru. Tampak dari warnanya yang putih bersih. Begitu juga dengan anak-anaknya, baju yang mereka pakai tampak baru. Ada yang mengenakan baju muslim, yang perempuan mengenakan gaun cinderela. Khotbah usai, salat Id benar-benar selesai. Masjidil Haram kembali lengang. Rombongan kami buru-buru pulang ke pemondokan, siap-siap makan opor ayam khas Indonesia yang sudah sejak malam kami rencanakan. (*)  

Tags :
Kategori :

Terkait