Syria Siap Kompromi, Barat Tanggapi Skeptis DAMASKUS– Rezim Presiden Bashar al-Assad merilis sinyal “siap berkompromi” dalam mengatasi kekerasan di Syria selama sekitar 17 bulan itu. Sinyal itu muncul setelah pada Selasa lalu (21/8) Wakil Perdana Menteri (PM) Qadri Jamil menyatakan bahwa pemerintah Syria siap membahas strategi exit atau mundurnya Assad dari kekuasaan. Namun, pertempuran antara pejuang oposisi dan tentara pemerintah masih berlanjut hingga kemarin (23/8). Pernyataan mengejutkan Jamil itu dilontarkan setelah bertemu dengan para petinggi Rusia dalam lawatannya ke Kota Moskow pada Selasa lalu. “Tentang pengunduran diri (Assad), selama semua menjadikannya sebagai syarat untuk berdialog, dialog itu tidak akan pernah terjadi,” ungkap alumnus Moscow State University tersebut. Menurut Jamil, jika oposisi mau, pemerintah Syria pun tidak akan segan untuk membahas pengunduran diri Assad sebagai jalan keluar krisis. “Masalah apapun, sebenarnya, bisa diselesaikan lewat jalur negosiasi. Bahkan, kami siap untuk mendiskusikan alternatif ini,” ujarnya soal exit atau pengunduran diri pemimpin 46 tahun itu. Sayangnya, lanjut dia, oposisi tidak pernah mau berdialog dengan pemerintah. Sejumlah analis menyebut pernyataan soal kompromi itu hanya “basa-basi politik”. Sumber lain mengatakan bahwa Assad justru mengutus Jamil ke Moskow untuk membahas rencana pemilihan presiden (pilpres) Syria. Tujuan dari pertemuan itu, kata sumber di Damaskus tersebut, adalah memastikan peluang bagi Assad untuk kembali tampil atau mencalonkan diri. Putra mendiang Presiden Hafez al-Assad itu memang belum rela melimpahkan kekuasaan. Karena itulah, sinyal kompromi rezim Assad ditanggapi secara skeptis oleh Amerika Serikat (AS). Washington tak yakin tokoh yang berkuasa sejak 2000 tersebut benar-benar bersedia lengser dari jabatannya. “Kami sudah mendengar pernyataan wakil PM Syria itu. Secara jujur, kami tidak melihat ada sesuatu yang baru dari pernyataan itu,” kata Jubir Departemen Luar Negeri AS Victoria Nuland. Washington tetap berpegang pada prinsip bahwa makin cepat Assad meninggalkan pemerintahan, akan makin cepat pula krisis di Syria berakhir. “Lebih cepat lebih baik,” ujar Nuland. Negara-negara Barat sekutu AS sependapat dengan Gedung Putih. Menurut mereka, pergantian rezim menjadi satu-satunya jalan keluar bagi Syria untuk lepas dari krisis. Sementara itu, bentrok pasukan pemerintah dan oposisi di Damaskus masih berlanjut. Rabu lalu (22/8), serangan udara di wilayah selatan ibu kota menewaskan sekitar 47 orang. “Seluruh kota (Damaskus) berguncang karena suara tembakan,” kata seorang warga di Distrik Kfar Souseh. Di distrik itu, bombardir militer Syria merenggut 22 nyawa. Hingga kemarin, pasukan loyalis Assad belum berhenti menyerang kantong-kantong oposisi. Militer Syria juga menyiagakan tank dan kendaraan lapis baja di area bentrok. “Ada sekitar 22 tank di Kfar Souseh. Setiap tank dijaga sekitar 30 tentara. Mereka merazia rumah-rumah warga dan mengeksekusi sejumlah pria,” ujar Bassam, aktivis oposisi di Kfar Souseh. Secara terpisah, PM Inggris David Cameron bersepakat dengan Presiden AS Barack Obama untuk mengirimkan peringatan dan pesan keras kepada rezim Assad mengenai kemungkinan penggunaan senjata kimia dalam memerangi oposisi di Syria. “Penggunaan senjata kimia tidak akan pernah bisa ditoleransi,” terang kantor PM Inggris dalam pernyataan tertulisnya. Seperti Washington, London pun menyatakan tidak akan segan untuk mengerahkan pasukan ke Syria jika Assad nekat melibatkan senjata kimia dalam perang melawan pejuang oposisi. Bersamaan itu, kemarin para pejabat tinggi AS dan Turki memulai pertemuan pertama ’’perencanaan operasional’’ dalam rangka membantu mengakhiri rezim Assad di Syria. Pertemuan yang berlangsung di Ankara itu diperkirakan mengoordinasikan tindakan militer, intelijen, dan politik terkait krisis di Syria. Revolusi anti-Assad meletus sejak Maret 2011 dan telah merenggut lebih dari 23 ribu nyawa. Sebagian besar di antaranya warga sipil. Para pejabat kedua negara juga dijadwalkan membahas rencana darurat terkait ancaman potensial. Termasuk, soal serangan senjata kimia oleh rezim Assad di Damaskus. Sumber Agence France-Presse di kalangan Kemenlu Turki menuturkan bahwa Deputi Wakil Menlu Halit Cevik dan Dubes AS Elisabeth Jones memimpin delegasi dari kedua negara yang terdiri para pejabat intelijen, militer, dan diplomat dalam pertemuan itu. Sebelumnya, Menlu AS Hillary Clinton dan Menlu Turki Ahmet Davutoglu telah mengumumkan 11 Agustus lalu gagasan soal mekanisme untuk mempercepat akhir kekuasaan rezim Assad. Pertemuan itu berlangsung beberapa hari setelah Obama mengingatkan Syria bahwa setiap pemakaian senjata kimia oleh rezim Assad akan dinilai ’’melampaui batas’’. Hal itu bisa direspons AS dengan pengerahan pasukan ke Syria. (AFP/AP/RTR/hep/dwi)
AS-Turki Bahas Rencana Akhiri Assad
Jumat 24-08-2012,09:40 WIB
Editor : Dedi Darmawan
Kategori :