MK Tolak Gugatan PUU tentang Pemilu, 2 Hakim Tak Setuju Putusan PT 20 Persen

Jumat 12-01-2018,05:05 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) tetap 20 persen. Hal tersebut menyusul ditolaknya gugatan Pengajuan Undang-Undang (PUU) Pasal 222 Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Namun di balik keputusan itu ada dua hakim MK yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Mereka adalah Saldi Isra dan Suhartoyo. Suhartoyo mengatakan, ketentuan PT 20 persen itu bertentangan dengan ketentuan pasal 22E, 27, dan 28 UUD 1945 yang semestinya menjamin hak yang sama kepada setiap partai politik peserta pemilu yang mengajukan capres dan cawapres. Lagi pula, penentuan PT 20 persen merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi kewenangan DPR sebagai pembentuk UU. \"Setiap parpol peserta pemilu semestinya memiliki hak untuk mengajukan atau mengusulkan pasangan capres cawapres,\" ujar Suhartoyo saat membacakan pertimbangan di ruang sidang Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (11/1). Lebih lanjut, dikatakannya, tak relevan jika rezim ambang batas pencalonan presiden dan wapres menggunakan hasil pemilu anggota DPR. Sebab, dalam desain sistem pemerintahan apabila menggunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai syarat mengisi posisi tertinggi atau presiden akan merusak logika sistem presidensial. \"Artinya, dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan ambang batas (presidential threshold) dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial,\" tambahnya. Sementara itu Saldi Isra berpendapat, dengan menggunakan hasil Pemilu 2014 dalam mengajukan calon presiden, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana jika kursi atau suara sah secara nasional yang diraih dalam Pemilu 2019 lebih rendah dibanding Pemilu 2014. Artinya, tak ada jaminan bagi parpol peserta pemilu 2019 yang berasal dari parpol peserta pemilu 2014 memiliki jumlah kursi atau suara sah yang sama dengan pemilu 2014. \"Argumentasi itu sulit dipertahankan karena dinamika politik dari pemilu ke pemilu berikutnya sangat mungkin berubah secara drastis,\" tegas Saldi. Guru besar hukum Universitas Andalas Padang itu menilai ketentuan ambang batas itu tidak adil bagi parpol baru peserta pemilu untuk mengajukan pasangan capres cawapres. Hal ini dikhawatirkan akan berdampak pada referensi masyarakat terhadap calon pemimpinnya. \"Jika ambang batas ini dihapus, maka jumlah capres-cawapres pada pemilu 2019 akan lebih beragam daripada pemilu 2014,\" sebutnya. Menurut kedua hakim itu, adanya keputusan PT 20 persen dipandang sebagai hal yang inkostitusional dan tidak memiliki kekuatan yang mengikat. \"Permohonan pemohon adalah beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan a quo,\" pungkas Saldi. (dna/JPC)

Tags :
Kategori :

Terkait