Hiburan Kelas Dunia, Singa Terluka Versus Gladiator Tertatih

Sabtu 14-07-2018,13:33 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

SEBELAS singa terluka, malam ini akan kembali masuk arena. Mereka akan menghadapi 11 gladiator yang juga tertatih-tatih. Inggris dan Belgia masih punya satu kewajiban untuk membusungkan dada, sebagai simbol bahwa dalam sepak bola, yang kalah pun tak boleh berhenti. Itulah sebabnya, banyak orang menjuluki final kecil perebutan tempat ketiga sebagai partai basa-basi, pertandingan hiburan atau pertarungan seremoni. Bahkan, pernah ada usulan, salah satunya dari mantan pelatih Belanda Louis Van Gaal, yang meminta FIFA menghapuskan saja pertandingan “aneh” itu karena tidak sesuai dengan filosofi sistem gugur. Mereka yang kalah tetap harus diberikan respek, bukan dieksploitasi, demikian alasannya. Namun, FIFA tetap teguh, pertandingan antara dua pecundang semifinal masih sangat penting. Selain untuk perankingan dalam tradisi selama hampir 100 tahun, perebutan tempat ketiga juga “dihargai” FIFA dengan ganjaran yang mahal. Pemenang final kecil ini dibekali 24 juta dolar AS atau sekitaran Rp348 miliar. Sedangkan semifinalis yang kalah lagi, hanya memperoleh Rp319 miliar saja. Jadi, sambil menunggu perebutan tempat ketiga nanti malam, mari kita simak teori yang sudah diviralkan. Dalam beberapa kali penyelenggaraan Piala Dunia, ambil contoh di Afrika Selatan 2010, delapan tahun yang lalu. Setelah kalah 2-3 dari Belanda, Uruguay terperosok bersama Jerman di final kecil. Jerman yang di semifinal kalah tipis 0-1 dari Spanyol, dalam kekecewaannya yang mendalam setelah di semifinal 2006 pun kalah 0-2 dari Italia, ternyata tetap bermain luar biasa bersemangat. Demikian pula sebaliknya, Uruguay. Mereka berdua memperagakan permainan kelas dunia dengan skor 3-2, suatu hasil akhir yang klasik dan dianggap sebagai salah satu pertandingan terbaik saat itu. Lalu apa yang terjadi pada partai pemungkas, real final antara Spanyol dan Belanda di kota bersejarah Johannesburg? Ternyata, berlangsung kaku, pragmatis semata, dan menjurus keras, bahkan kasar. Belanda yang tak bisa mengimbangi teknik individual pemain-pemain Spanyol, justru mempraktikkan gaya mematikan secara fisik. Hampir seluruh pemain Spanyol, termasuk kiper Iker Casillas “diserang” membabi buta. Satu momen yang menjadi ikon pada partai “kampungan” itu, di mana telapak kaki kanan gelandang bertahan Belanda, Nigel de Jong mendarat telak di rongga antara dada dan perut Xabi Alonso, terkapar! Sepanjang 85 menit pertandingan final piala dunia itu berlangsung hambar, minim adegan kelas dunia, cuma sekadar tontonan tak berkelas yang menjemukan. Final itu masih terselamatkan dengan gol a-volley indah dari kaki kanan legenda Spanyol, Andres Iniesta. Gol yang kemudian dikenang dengan gelar Gravitasi Newton itu benar-benar menjadi final penutup turnamen yang datar. Kini, Inggris dan Belgia bisa jadi tak punya gairah seperti kala mereka tampil di semifinal pertengahan pekan lalu. Namun, kita sudah menyaksikan bersama, betapa Inggris dan Belgia bermain dalam tekanan psikologis di semifinal, dan hasilnya mereka tak bisa bermain terbuka apa adanya sebagai calon juara dunia. Orang-orang lebih suka menyebutnya tak punya mental juara. Namun barangkali sesungguhnya, mereka cuma berada dalam situasi under-pressure, tuntutan yang terlalu berlebihan dari segala sisi. (*) * Catatan Kurniadi Pramono

Tags :
Kategori :

Terkait