Predikat Keuangan WTP “Kinclong”, tapi Mengapa Sunjaya Korupsi?

Senin 14-01-2019,10:28 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Pemerintah Kabupaten Cirebon mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) tiga tahun secara berturut-turut dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Predikat “kinclong” di bawah kepemimpinan Sunjaya Purwadisastra ini terakhir kali diberikan pada Mei 2018. Singkatnya, Pemkab Cirebon dianggap bersih dari praktik menyelewengkan APBD. Akan tetapi, berselang lima bulan setelah predikat WTP didapatkan, Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra ternyata terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (24/10/2018). Keesokan harinya, Sunjaya resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap jual-beli jabatan dan gratifikasi terkait proyek di lingkungan Pemkab Cirebon. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, Sunjaya merupakan kepala daerah ke-19 yang diproses komisi antirasuah melalui OTT pada 2018. Dia juga tercatat sebagai kepala daerah ke-100 yang diproses KPK selama ini. Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik Piliang menyatakan, banyak motif tindakan korupsi yang sering dilakukan kepala daerah untuk mengakali pengeluaran mereka sebelum terpilih. Salah satunya adalah korupsi pengadaan barang dan jasa serta permainan dana hibah di APBD. Namun, kata Akmal, penyelewengan APBD ini tidak menjadi pilihan utama. Menurut dia, kepala daerah yang nakal lebih sering bermain di masalah perizinan. Jika mereka tak mempunyai sumber perizinan, maka target selanjutnya baru APBD dan jual-beli jabatan serta mutasi. Di APBD, kepala daerah juga sering memainkan soal dana hibah dan perjalanan dinas. “Ini yang kami catat dan yang terbanyak itu adalah mutasi dan perizinan,” kata Akmal di Jakarta, Sabtu (27/10/2018). Menurut Akmal, hal itu terjadi karena kepada daerah memiliki wewenang yang cukup luas. Karena itu, kata Akmal, pihaknya telah berusaha mempertegas regulasi yang dikeluarkan. Setiap tahun, misalnya, Kemendagri mengeluarkan pedoman umum untuk menyusun APBD. Dalam pedoman itu, kata Akmal, diatur juga soal pemberian izin. Akan tetapi, hal itu ternyata tidak cukup efektif menyelesaikan masalah karena substansi di dalam izin tersebut tidak diatur Kemendagri, melainkan diberikan sepenuhnya kepada kepala daerah.

“Persoalannya dia kan ada otoritas untuk menentukan berapa luas yang diberi izin. Kan itu otoritas kepala daerah, tapi aturan kami buat adalah ketika Anda membangun, ini ada izinnya, semua dilalui. Cuma terkait kuantitas, itu kan haknya kepala daerah sebagai pemilik aset,” kata Akmal berdalih. Sementara, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng. Menurutnya partai harus membuat sistem pengkaderan yang lebih ketat demi mencegah korupsi dari anggotanya sendiri. Selama ini, kata dia, dana kampanye dan saksi dibebankan kepada calon, belum lagi apabila ada mahar politik yang harus ditebus. Pengeluaran yang besar ini memicu kader partai yang menjadi kepala daerah mencari cara untuk mengembalikan modal politiknya. “Saya enggak percaya korupsi akan berhenti jika tidak ada pembenahan sistem itu,” kata Robert. “Selagi sumber pendanaan partai tidak jelas, berarti kan andalannya dari kader mereka. Mereka [kader] akan mendapat dana dari cara-cara normal atau di luar itu?” kata dia mempertanyakan. (*)
Tags :
Kategori :

Terkait