Kerja Kampanye “SMK Bisa!” Pengangguran Tertinggi Justru Lulusan SMK?

Rabu 16-01-2019,16:12 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

“SMK Bisa! Siap Kerja, Cerdas, dan Berkompetisi!” Slogan tersebut dipromosikan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Kini Kementerian Pendidikan dan kebudayaan/Kemendikbud) sejak 2009. Pada 2016, Presiden Jokowi juga menegaskan bahwa kita harus fokus menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan vokasi dan kebutuhan industri menjadi perhatian utama. SMK termasuk dalam lembaga pendidikan vokasi yang direvitalisasi sebagai implementasi dari Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016. Baca: Salinan Inpres Nomer 9 Tahun 2016 Lantas. Pemerintah meluncurkan program pendidikan vokasi industri, yakni link and match antara SMK dan industri. Program pendidikan vokasi industri ini sesuai dengan Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2016 tentang revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK BISA) dalam rangka peningkatan kualitas dan daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Program ini menargetkan pada 2019 sebanyak 1.775 SMK akan menghasilkan 845.000 tenaga kerja tersertifikasi yang disalurkan melalui 355 perusahaan.   Namun, peningkatan pengangguran lulusan SMK berisiko menurunkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2018 adalah sebanyak 133,94 juta orang. Adapun angka tersebut meningkat 2,39 juta dari jumlah angkatan kerja pada Februari 2017. Apabila dirinci lebih lanjut, angka sebesar 133,94 juta orang itu terdiri dari 127,07 juta orang yang merupakan penduduk bekerja, sedangkan 6,87 juta orang dikategorikan sebagai pengangguran. “Dalam setahun terakhir, pengangguran berkurang 140 ribu orang, sejalan dengan TPT [Tingkat Pengangguran Terbuka] yang turun menjadi 5,13 persen pada Februari 2018,” kata Kepala BPS, Suhariyanto dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Senin (7/5/2018). TPT sendiri merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat penawaran tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar. Berdasarkan data BPS itu, TPT untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah yang tertinggi dibandingkan tingkat pendidikan lain. Besarannya mencapai 8,92 persen. Kendati masih menjadi yang tertinggi, akan tetapi persentase TPT untuk level pendidikan SMK itu sudah turun sekitar 2,49 persen ketimbang data yang dirilis pada Agustus 2017. Kala itu, persentasenya mencapai 11,41 persen. Dalam catatan radarcirebon.com, label negatif bertambah parah ketika melihat angka putus sekolah yang tinggi pada siswa SMK. Dalam kurun waktu 10 tahun, ada 1.052.437 siswa SMK yang drop out. Angka tersebut lebih banyak 251.005 siswa dibanding jumlah drop out siswa SMA, yakni 801.432 orang. Tren drop out memang cukup dinamis antara SMA dan SMK dengan jumlah drop out paling besar terjadi pada tahun ajaran 2009/2010, 170.832 siswa SMK dan 141.712 siswa SMA. Sejak 2014/2015, SMA berhasil mengurangi jumlah drop out secara konsisten. Hal sama yang juga terjadi pada SMK. Sayangnya kembali terjadi kenaikan drop out SMK pada 2017/2018. Selain itu, terlihat jelas bahwa jumlah siswa SMK yang putus sekolah masih jauh lebih banyak dibanding SMA sejak 2012. Berdasarkan Statistik SMK Tahun 2017/2018, angka drop out siswa SMK paling banyak berasal dari Jawa Barat dan Jawa Timur, menyumbang masing-masing 17.494 siswa dan 11.715 siswa. Baca: Statistik SMK Tahun 2017/2018 Lalu, bagaimana dengan Jawa Barat? Kondisi Jawa Barat saat ini sebagai penyumbang besar angkatan kerja sekaligus penyumbang besar angka pengangguran. Berdasarkan tingkat pengangguran terbuka berdasarkan pengangguran tingkat pendidikan di Jawa Barat, diduduki oleh SMK sebagai penyumbang paling tinggi, sekitar 16.97 persen agustus 2018. Sementara itu berbanding lurus dengan pertumbuhan jumlah SMK di Jawa Barat yang terus bertambah berdasarkan data 2018 mencapai 2.846. Demikian Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Dewi Sartika, mengatakan kondisi lulusan SMK di Jabar. Maka, menurutnya peran swasta harus menjadi acuan untuk terus ditingkatkan. Oleh karenanya, bagaimana pun anggaran pemerintah relatif tidak dapat menyumbang lebih, selain mengandalkan pihak swasta. \"Kalau swasta sudah bisa berperan itu menjadi potensi yang baik, mudah-mudahan ini juga menjadi bagian dari kapasitasnya memberikan kepercayaan kepada maayarakat bahwa swasta juga mampu,\" ujar Kadisdik Jawa Barat, Dewi Sartika, Rabu (9/1/2019). Sementara, Mendikbud Muhadjir menyatakan banyak lulusan SMK masih menganggur karena dampak program revitalisasi sekolah kejuruan baru bisa terlihat pada 3-4 tahun ke depan. Menurut dia, kondisi tersebut akibat dari sistem pendidikan SMK yang lama. Muhadjir mengklaim pemerintah saat ini telah berkomitmen untuk menjalankan program revitalisasi SMK yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas lulusan sekolah kejuruan. Revitalisasi SMK merupakan program yang dijalankan sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016. Muhadjir berdalih kualitas lulusan SMK yang sudah tersentuh program revitalisasi baru bisa dilihat pada 3-4 tahun ke depan. “Revitalisasi SMK ini kan baru [direalisasikan] akhir 2016 ketika saya jadi menteri. Jadi lulusan yang sekarang ini memang belum mendapatkan sentuhan revitalisasi,” kata Muhadjir di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta pada Kamis (8/11/2018). Hal tersebut ironis, mengingat SMK dirancang untuk menyiapkan lulusan yang dapat bekerja sesuai kompetisi yang dimiliki. SMK seharusnya bisa menjadi solusi dari gap antara dunia sekolah dan industri, sebab siswa SMK dipersiapkan menjadi tenaga kerja yang handal yang siap-pakai. Pada akhirnya, permasalahan ini akan membentuk lingkaran setan: SMK menjadi pilihan kedua bagi para lulusan SMP, banyak siswa SMK yang drop out, dan pengangguran yang tinggi setelah lulus. Pemerintah boleh bahwa slogan \"SMK Bisa!\" mampu membawa minat banyak lulusan SMP untuk melanjutkan ke SMK. Namun, apa artinya pendaftar yang tinggi apabila angka putus sekolah tinggi, dan yang lulus pun tak diserap lapangan kerja? Pemerintah pun tengah berupaya memperbaiki kualitas SMK dengan menjalankan program revitalisasi SMK. Hingga 2019, akan ada 1.650 SMK dari total 13.600 SMK yang akan direvitalisasi, sementara revitalisasi SMK lainnya diserahkan kepada pemerintah provinsi. Program ini tentunya diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas pendidikan SMK, mulai dari kurikulum, pendidik, fasilitas, kerja sama dengan dunia usaha dan dunia industri, serta kualitas lulusan. Butuh waktu dan upaya berkelanjutan untuk menghasilkan kualitas SMK yang lebih baik. Juga untuk menghapus stigma negatif yang kerap dilabelkan pada SMK dan siswanya. Ini tentu pekerjaan mahaberat yang perlu upaya jauh lebih keras dibanding kerja-kerja kampanye \"SMK Bisa!\". (*)  

Tags :
Kategori :

Terkait