Kemajuan teknologi memunculkan pertanyaan apakah digitalisasi literatur mengancam eksistensi ilmu, khususnya ilmu sosial dan humaniora. “Sejauh mana kerja ilmu sosial dan humaniora bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital? Beberapa pertanyaan ini telah memicu perdebatan yang luas tentang posisi data dan sumber referensi ilmu sosial dan humaniora dalam perkembangan Revolusi Industri 4.0,” ujar peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fadjar Ibnu Thufail dalam Diskusi Publik Transformasi Perpustakaan di Era Revolusi Industri 4.0 pada Senin (18/3) di Jakarta. Ia menjelaskan, teknologi digital harus bisa mencari formulasi dan proses algoritmik yang bisa mewadahi karakter ilmu sosial humaniora yang reflektif. “Pandangan ini disebut Digital Humanities,” ujarnya. Menurut Fadjar, Digital Humanities membuka peluang akses jaringan yang lebih luas, pengolahan data secara massif, pemanfaatan data grafis, serta keterbukaan akses dan informasi. Director KITLV Jakarta & The Office of Leiden University in Indonesia, Marrik Bellen mengungkapkan teknologi telah mempengaruhi proses bisnis di perpustakaan. “Selama 50 tahun kerjasama dengan LIPI, KITLV Jakarta berhasil mendigitalisasikan 210 lembar naskah setiap tahun,” jelas Bellen. Digital Aset Manager CNN Indonesia, Yogi Hartono mengungkapkan kemudahan menjadi pemicu adanya disrupsi ke ranah digital, termasuk di perpustakaan. “Peran baru pustakawan saat ini ditekankan pada proses kolaborasi, fasilitator, information advisor, juga problem solver,” terang Yogi. Ia mengungkapkan keahlian baru yang diperlukan saat ini adalah kemampuan penyimpanan , akses data, dan preservasi data. Hendro Subagyo, Plt. Kepala Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah LIPI, mengungangkapkan LIPI menginisiasi digitalisasi koleksi sejak tahun 2000 lewat perekaman disertasi ke mikrofis untuk tesis dan disertasi tahun 1990-1998. “Tahun 2002 dilakukan digitalisasi pertama dengan DocuShare. Tahun 2008 hingga sekarang fokus untuk digitalisasi jurnas dan artikel ilmiah,” ujar Hendro. Tahun 2010, LIPI meluncurkan pangkalan data jurnal ilmiah Indonesia, Indonesian Scientific Journal Database (ISJD). “Saat ini ISJD menyimpan 340 ribu artikel dan 14 ribu jurnal yang bisa diakses di http://isjd.pdii.lipi.go.id ,\" terang Hendro. Tahun 2016, LIPI melakukan digitalisasi mikrofis dokumen langka, namun berhenti di tahun 2017 karena fasilitas tidak mendukung. “Oleh karena itu, dibuat peraturan dengan keluarnya Peraturan Kepala LIPI tentang Repositori dan Depositori Data dan Karya Ilmiah untuk mendepositkan data primer.,” ujar Hendro. Hendro menjelaskan, tantangan digitalisasi menuntut peningkatan infrastruktur digital, aksesibilitas juga transformasi koleksi. “Beberapa strategi yang dapat kami lakukan meliputi penguatan infrastruktur digital, peningkatan kompetensi dan penguatan manajemen sumber daya alam, dan perbaikan proses bisnis serta kolaborasi antar unit dan lembaga,” tutupnya. (*)
Digitalisasi Literatur Mengancam Ilmu Sosial?
Rabu 20-03-2019,11:13 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :