Tradisi Ngisis Merawat Wayang Pusaka

Sabtu 15-02-2020,10:30 WIB
Reporter : Agus Rahmat
Editor : Agus Rahmat

Merawat benda pusaka memang perlu keahlian khusus. Dilakukan ritual khusus. Oleh orang khusus. Rangkaian perawatan ini, rutin dilakukan Keraton Kacirebonan. Agar benda berusia ratusan tahun tetap dalam kondis baik.

AZIS MUHTAROM, CIREBON

HAMPIR lima belas tahun, Pulana Kurnadi (27) melakoni ritual ngisis atau membersihkan wayang pusaka untuk diangin-anginkan di udara terbuka. Ritual ngisis ini, dilakukan Pulana setiap Jumat Kliwon pagi hari, mulai pukul 10.00 hingga menjelang ashar.

Setiap wayang dikeluarkan dari peti kotak, dibersihkan menggunakan lap, kemudian dijejerkan di dalam ruangan dengan pencahayaan yang cukup. Peti kotak wayang juga dibersihkan lalu diberikan beberapa butir kamper.

Hal ini dilakukan agar wayang pusaka milik Keraton Kacirebonan tersebut tidak lembab karena terlalu lama berada dalam peti kotak penyimpanan. Bahan dasar wayang yang terbuat dari kulit kerbau dan batangnya dari tanduk akan mudah lembab jika disimpan terlalu lama dalam peti.

Pulana mengawali tradisi ngisis ini dengan unjuk matur (meminta izin) kepada Sultan Kacirebonan. Setelah izin diberikan, pulana mulai ke tahapan persiapan dan memanjatkan doa untuk kelancaran tradisi ritual ini. Tidak kurang dari 200 wayang yang dibersihkan Pulana, Jumat (14/2).

Wayang-wayang tersebut, merupakan kelompok wayang anggonan atau wayang yang dua puluh tahun lalu masih bisa dipakai untuk pertunjukkan wayang kulit di lingkungan keraton. Namun, saat ini sudah tidak bisa lagi dipakai karena termakan usia ratusan tahun.

2

Di Keraton Kacirebonan terdapat dua kelompok peti penyimpanan wayang. Selain kelompok wayang anggonan ada juga kelompok wayang jimat yang usianya tentu lebih tua. Kelompok wayang jimat yang berjumlah 100-an itu kebetulan sedang tidak gilirannya dibersihkan. Ngisis wayang jimat dan baru akan dilakukan pada Jumat Kliwon bulan berikutnya.

Dipercaya usia kelompok wayang jimat lebih tua dari usia bedirinya Keraton Kacirebonan tahun 1808. Meski demikian, kondisi wayang kulit pada masing-masing kelompok tersebut hingga kini masih cukup terawat. Para dalang secara turun temurun telah melakukan tradisi ngisis ini untuk menjaga kondisi wayang tetap utuh.

“Saya ini generasi ke-14 yang secara turun temurun sejak keraton ini berdiri didaulat sultan sebagai dalang keraton,” ujarnya.

Pulana mungkin merupakan yang termuda saat didaulat menjadi dalang, yakni sejak ayahnya yang bernama Dalang Kurnadi meninggal dunia ketika Pulana masih bersekolah kelas 6 SD. Awalnya, dia hanya tahu sedikit saja tentang ilmu memainkan dan merawat wayang. Namun, ketika ayahnya meninggal, Pulana merasa secara otomatis dirinya langsung menguasai keahlian yang dulu dimiliki mendiang ayahnya.

Keahlian dan tradisi ini, juga akan terus diwariskan kepada anak dan cucu Pulana kelak, tentu setelah mendapat restu dari sultan. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait