Puluhan Tahun ”Karantina Wilayah”

Selasa 02-06-2020,11:00 WIB
Reporter : Leni Indarti Hasyim
Editor : Leni Indarti Hasyim

Suasananya sepi. Lalu-lalang orang, didominasi mereka yang berbusana sarungan dan berkerudung. Budayanya kental. Masyarakatnya patuh. Termasuk soal larangan untuk tidak memakai benda elektronik di dalam rumah, juga larangan menggunakan sepeda.

DI tengah wabah corona virus disease (covid-19), beragam istilah bermunculan. Mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB), karantina wilayah dan sejenisnya.

Saat masyarakat mengalami kejenuhan, kawasan ini justru sudah ratusan tahun tetap bertahan dengan karantina wilayah. Ala mereka tentunya. Namun dengan tujuan melindungi warga dari hal-hal yang memang dilarang.

“Sepeda Dilarang Masuk..!! Taati Sesepuh Kita,” bunyi kalimat larangan tersebut, dengan huruf kapital, ditempelkan di salah satu dinding bangunan.

Wilayah yang dimaksud adalah Kampung Benda Kerep, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti. Untuk masuk ke kawasan pesantren, kita harus lebih menyeberangi sungai. Airnya kebetulan sedang surut. Baru sampai bibir jembatan, kalimat larangan tertulis jelas walau warnanya agak sedikit pudar.

Gemericik air sungai itu masih terdengar puluhan meter di ujung jembatan dengan kawat baja yang berada di tengahnya itu. Terus ke dalam, hanya ada beberapa warga yang kebetulan sedang di luar rumah. Ada yang sedang menjemur pakaian, mengasuh anak, dan macam-macam.

“Masih lurus, di samping masjid,” ujar salah seorang warga yang usianya lebih dari setengah abad, ketika saya menanyakan rumah KH Muhammad Miftah, pengasuh Pesantren Benda Kerep, Senin (1/6) siang.

2

Kiai Miftah dikenal sebagai pemuka agama setempat. Orangnya bersahaja, ramah, termasuk ketika Radar Cirebon meminta izin untuk bertemu dan bertanya soal kepercayaan masyarakat setempat mengenai larangan-larangan yang masih berlaku hingga sekarang.

Menyambung larangan memakai sepeda yang disebut diawal, sepanjang jalan menuju rumah beliau, saya juga tidak mendengar adanya suara, baik itu dari televisi atau radio. Ternyata memang tidak diperbolehkan. Sudah berlaku puluhan, bahkan ratusan tahun. Sebelum zaman kakek dan nenek Kiai Miftah itu sendiri.

Beliau (Kiai Miftah), menjelaskan lebih lanjut soal larangan-larangan itu. Dan yang tidak diduga juga, aturan tersebut erat kaitannya dengan penularan risiko penyakit melalui benda. Meminimalisasi risiko lebih tepatnya.

Larangan menggunakan televisi misalnya. Dikatakan beliau, terlalu dekat dan intens menggunakan televisi dapat mempengaruhi produktivitas panca indra, khususnya mata. Untuk itu, sesepuh melarangnya. Termasuk juga penggunaan handphone. Ia menganjurkan agar handphone tidak diletakan di dalam kantong.

Mengenai anjuran-anjuran itu, sesepuh di sana telah memprediksi dan menerapkan lebih awal, sebelum adanya aturan pemerintah saat ini. “Jadi untuk santri, tidak asing dan bukan sesuatu yang baru,” ujarnya, menjelaskan seputar imbauan pemerintah soal physical/social distancing.

Miftah mempunyai filosofisnya sendiri seputar aturan-aturan tersebut. Selalu mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi. Misalnya, imbauan untuk menggunakan masker.

“Kalau kita pakai masker itu faedahnya apa? Biar kita bicara jangan semaunya sendiri, jadi mulut itu dijaga, bicaralah dengan baik. Cuci tangan? Berarti tangan ini jangan melakukan maksiat atau yang melanggar aturan-aturan agama,” ungkapnya, lebih lanjut.

Aturan ini berlaku di sekitar wilayah pesantren. Tidak perlu dipaksakan, warga dan santri telah patuh dengan sendiri. Termasuk imbauan-imbauan dari pemerintah untuk jaga jarak dan lain sebagainya. Kiai Miftah juga termasuk orang yang setuju jika Salat Jumat ditiadakan bagi wilayah dengan zona merah penyebaran pandemi covid-19.

Tags :
Kategori :

Terkait