Ok
Daya Motor

Tuntutan Ringan Kajari Bandung Dinilai Lukai Keadilan Korban: LBH PUI Desak Evaluasi Menyeluruh

Tuntutan Ringan Kajari Bandung Dinilai Lukai Keadilan Korban: LBH PUI Desak Evaluasi Menyeluruh

Ketua LBH PUI, Etza Imelda Fitri SH MH CLA CPM CFAS CEAS (batik merah), menyatakan kekecewaannya terhadap tuntutan ringan Kajari Kabupaten Bandung dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak.-Samsul Huda-radarcirebon

BANDUNG, RADARCIREBON.COM - Kasus Kejahatan seksual terhadap anak kembali menuai luka bagi publik. Lembaga Bantuan Hukum Persatuan Ummat Islam (LBH PUI) menyampaikan kritik keras atas tuntutan yang dinilai terlalu ringan dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung terhadap terdakwa Kasus Kejahatan seksual anak, RR.

Tuntutan pidana tersebut dibacakan pada 10 Desember 2025 di Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam perkara Nomor 1045/Pid.Sus/2025/PN.Blb.

Dalam kasus yang melibatkan enam anak korban, terdakwa hanya dituntut 18 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan empat bulan.

Bagi LBH PUI, tuntutan ini bukan hanya tidak sebanding dengan luka mendalam para korban, tetapi juga menunjukkan lemahnya kehadiran negara dalam melindungi generasi muda.

BACA JUGA:Perkuat Pendidikan Vokasi di Karawang Melalui Program Astra Honda Berbagi Ilmu

Ketua LBH PUI, Etza Imelda Fitri SH MH CLA CPM CFAS CEAS, menegaskan bahwa tuntutan tersebut jauh dari semangat perlindungan anak sebagaimana diamanatkan Undang-Undang.

Ia mengingatkan bahwa ketentuan Pasal 81 ayat (3) dan ayat (5) UU Perlindungan Anak memberikan ruang hukuman maksimal, termasuk pidana mati, seumur hidup, hingga penjara 20 tahun ditambah pidana tambahan seperti pengumuman identitas pelaku dan tindakan kebiri kimia.

“Kejahatan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa. Dampaknya tidak hanya merusak masa depan anak, tetapi juga menghancurkan keluarga dan meninggalkan trauma panjang yang tak selalu terlihat,” tegas Etza.

Namun ironisnya, tuntutan yang ringan justru mengirim pesan keliru bahwa penderitaan korban dapat dinegosiasi. "Inilah yang paling melukai rasa keadilan publik," tegas Etza.

BACA JUGA:Usai Audit Internal 2025, Diskominfo Kabupaten Cirebon Pertahankan Sertifikasi ISO 27001:2022

LBH PUI menilai bahwa Jaksa Penuntut Umum gagal menunjukkan keberpihakan terhadap korban. Padahal, kata Etza, kejaksaan seharusnya menjadi benteng keadilan, bukan justru melemahkan posisi anak yang menjadi korban.

Ia juga mendorong Kejaksaan Tinggi Jawa Barat untuk segera mengevaluasi langkah Kajari Kabupaten Bandung agar kejadian serupa tidak terulang. "Kasus ini bukan hanya tentang enam anak yang menjadi korban. Ini tentang masa depan generasi Indonesia dan bagaimana negara harus hadir ketika mereka disakiti," jelasnya.

“Apalagi Kajari Bale Bandung adalah seorang ibu. Seharusnya empati terhadap luka anak-anak ini jauh lebih kuat," paparnya.

LBH PUI menyerukan kepada masyarakat untuk ikut mengawal proses persidangan hingga putusan akhir. Etza menegaskan bahwa pelaku kejahatan seksual terhadap anak harus mendapatkan hukuman setimpal sesuai ketentuan hukum yang berlaku, bukan tuntutan yang terkesan meremehkan martabat korban.

BACA JUGA:Bupati Lampung Tengah Ditangkap KPK, Mendagri Sampaikan Hal ini Kepada Seluruh Kepala Daerah di Indonesia

"Kejahatan seksual terhadap anak tidak boleh dipandang ringan. apalagi ditanggapi dengan tuntutan yang mengecilkan martabat korban. Karena itu, kami mengajak publik memastikan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan," pungkasnya. (sam)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: