Ok
Daya Motor

Noise vs. Voice Membedakan Kebijaksanaan di Tengah Ledakan Informasi

Noise vs. Voice Membedakan Kebijaksanaan di Tengah Ledakan Informasi

Noise vs. Voice Membedakan Kebijaksanaan di Tengah Ledakan Informasi-facebook-Radar Cirebon

Noise Sebuah Keniscayaan

Dalam satu dekade terakhir, masyarakat Indonesia telah menghadapi ledakan informasi dengan jumlah yang besar seiring pesatnya kemajuan internet, media sosial, dan platform digital lainnya. Hal ini memunculkan fenomena yang dinamakan kelebihan informasi (information overload), di mana pengguna setiap hari dibanjiri konten dari beragam sumber, mulai dari media arus utama, media sosial, aplikasi pesan instan, hingga saluran digital lainnya.

BACA JUGA:Pemkab Majalengka Luncurkan 'Kampung SAE', Wilayah Ini Jadi Contoh

Kerap kali, informasi yang diterima bersifat repetitif dan tidak relevan, bahkan menyesatkan. Penelitian mengenai kelebihan informasi pada pengguna Instagram di Indonesia menunjukkan bahwa kelebihan informasi, ditambah dengan rasa takut tertinggal (fear of missing out), menjadi penyebab utama kelelahan media sosial (social media fatigue) di kalangan anak muda (Putra & Hermawan, 2020).

Fenomena yang sama juga terlihat di lingkungan kerja, misalnya, sebuah studi terhadap karyawan Bukalapak menemukan bahwa information overload dan communication overload berpengaruh signifikan terhadap kelelahan media sosial serta penurunan performa kerja (Eliyana et al., 2020).

Dalam konteks ini, muncul perbedaan penting antara noise dan voice. Noise mengarah kepada informasi yang bersifat distraksi, tidak kredibel, manipulatif, atau sekadar menambah kebisingan dalam ruang publik digital. Sementara voice, mengarah pada informasi yang bermakna, relevan, kredibel, dan mampu memberikan arahan atau dampak positif bagi masyarakat.

Ketidakmampuan membedakan keduanya menimbulkan berbagai dampak negatif, mulai dari kelelahan mental, penurunan kualitas keputusan, hingga penyebaran hoaks. Studi di kalangan remaja Indonesia menemukan bahwa semakin rendah tingkat literasi digital, semakin tinggi pula kecenderungan untuk menyebarkan hoaks. Sebaliknya, literasi digital yang baik terbukti menekan perilaku penyebaran informasi palsu (Kalia & Rusdy, 2021). Hal ini menegaskan pentingnya literasi digital dan media sebagai kunci untuk memilih suara kebijaksanaan dari sekadar kebisingan.

BACA JUGA:Viral di Kuningan, Bayar Rp100 Ribu Dijanjikan Kerja di Dapur MBG

 Namun, meskipun literasi digital terbukti efektif dalam mengurangi keyakinan terhadap berita palsu (Thomas et al., 2021), tantangan tetap tak terelakkan. Pertama, tidak semua orang memiliki akses dan minat terhadap konten literasi, sehingga terjadi kesenjangan kesadaran. Kedua, praktik politik digital di Indonesia masih diwarnai oleh keberadaan pendengung (buzzer), disinformasi, serta tekanan terhadap media kritis yang kerap melemahkan voice yang sah dan memperkuat noise dalam ruang publik (Masduki, 2021). Ketiga, faktor psikologis seperti kejenuhan akibat banjir informasi yang membuat masyarakat cenderung lebih memilih konten viral dan mudah dicerna, meskipun sering kali mengorbankan validitas informasi.

Selain itu, adanya bias kognitif dan fenomena filter bubble yang membuat masyarakat semakin terperangkap dalam konten yang hanya memperkuat keyakinannya sendiri. Pada saat yang sama, suara kritis maupun alternatif sering kali diabaikan. Namun, di sisi lain, televisi masih menjadi media utama bagi sebagian masyarakat Indonesia dalam memperoleh kejelasan informasi, seperti saat pandemi Covid-19 (Pranata et al., 2018). Fakta ini menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup besar antara keberadaan voice yang kredibel dengan dominasi noise yang mengganggu konsentrasi.

Dengan demikian, muncul sejumlah persoalan mendasar bagaimana masyarakat dapat membedakan antara noise dan voice di tengah ledakan informasi digital, sejauh mana literasi digital mampu menjadi instrumen efektif dalam memfilter informasi, serta bagaimana peran kebijakan dan institusi dalam menjaga agar suara kritis dan konstruktif tetap terdengar. Era digital memang membuka peluang demokratisasi informasi, namun tanpa kemampuan memilah, suara kebijaksanaan akan mudah tenggelam dalam kebisingan yang justru melemahkan kualitas diskursus publik.

Ledakan informasi yang datang dari media sosial, notifikasi aplikasi, dan juga berita daring dapat mempengaruhi kesehatan mental karena banyaknya volume informasi yang diterima melebihi kapasitas manusia. Penelitian menyebutkan bahwa banjir informasi dapat memicu stres, kecemasan, depresi dan kelemahan digital. Bukan hanya itu, hal ini juga memiliki konsekuensi terhadap siklus jam tidur dan juga menurunnya kesehatan mental. Konsekuensi ini terjadi secara umum, terutama pada generasi muda yang sering menghabiskan waktu di depan layar (Ji, 2023); (Pchelina et al., 2022).

BACA JUGA:Aktor Gary Iskak Meninggal Dunia, Sempat Diduga Sedang Adegan Syuting Film

Informasi yang berlebihan dapat melemahkan kemampuan berpikir kritis, memunculkan kelemahan berkomunikasi dan menurunkan kualitas pengambilan keputusan. Dalam jangka panjang, kondisi ini mengikis nilai etika dalam penggunaan ruang digital dan juga memperburuk kesehatan sosial dan psikologis (Frolova, 2017); (Musakovska, 2020).

Sebagai tandingan dari noise, konsep voice diwujudkan dengan literasi digital. Literasi digital membantu individu untuk memilah, memahami, dan menyuarakan informasi dengan bijak. Berbagai penelitian menunjukan bahwa kemampuan ini dapat melindungi individu dari kecemasan informasi dan memperkuat kompetensi inti dan kesehatan mental. Studi terbaru menegaskan bahwa literasi digital dapat dihubungkan dengan kesehatan fisik, kesehatan mental, dan kepuasan hidup. Literasi digital membantu mahasiswa untuk menjaga kesehatan mental (Konig et al., 2024); (Yue et al., 2024).

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: