Romo Getsemani
Setahun dua kali Tulang Rusuk retreat di situ: bisa untuk 120 orang. Acaranya selalu tiga hari: Jumat-Sabtu-Minggu. Tiga hari penuh Romo Halim memimpin sendiri retreat itu. Sejak acara perkenalan di hari pertama. Sampai kebaktian penutupan di Minggu sore —khusus bagi yang Katolik. Sedang yang beragama lain tidak perlu mengikutinya. “Tiga hari itu kami dibuat hanyut oleh Romo Halim,” ujar Teguh Kinarto.
Mereka hanyut oleh humor-humor beliau yang spontan. Oleh keharuan yang sampai membuat mereka semua menangis. Oleh keseriusan beliau kalau lagi marah. Dan oleh kesyahduan doa yang dipimpinnya.Ada satu adegan yang tidak akan bisa dilupakan semua peserta retreat. Yakni di hari Sabtu. Ketika Romo Halim menunjukkan keihklasannya sebagai pelayan umat. Pelayan dalam pengertian sebenarnya.
Hari kedua itu Romo Halim duduk bersimpuh di lantai, bertumpu pada lutut beliau. Di depan lutut itu ada baskom berisi air. Di dekat baskom itu ada kursi. Peserta diminta duduk di kursi itu. Dengan telapak kaki direndam di air di dalam baskom. Saat itulah, dengan duduk bersimpuh di lantai itu Romo Halim mencuci kaki umatnya. Dengan doa. Dengan kasih sayang. Dengan ketulusannya.
Baskom itu diganti dengan baskom yang baru. Dengan air yang baru. Satu peserta lagi diminta duduk di kursi. Merendam kaki di baskom. Kaki itu dicuci oleh Romo Halim. Sampai bersih. Sampai semua peserta mendapat giliran.
Yang suami-istri kaki mereka dimasukkan bersama ke baskom yang sama. Memang ada yang datang ke retreat tanpa istri. Atau tanpa suami. Anda sudah bisa menebak: lagi bertengkar. Sering hari kedua pasangan mereka sudah menyusul.
Siapa saja - -tanpa melihat suku dan agama-- bisa menjadi anggota Tulang Rusuk. Syaratnya hanya satu: sudah kawin selama paling tidak lima tahun. “Kalau belum lima tahun biasanya belum bertengkar,” ujar Teguh Kinarto sambil tertawa.
Saya sebenarnya juga ingin ikut ke Batu. Tapi ada seruan tidak boleh ada yang datang - -karena Covid. “Kemungkinan besar bukan di Batu abu beliau disemayamkan. Mungkin di Poh Sarang,” ujar Johanes Tjandra.
Poh Sarang, di lereng gunung Wilis, Kediri memang menjadi salah satu Katolik Center di Jatim. Kebetulan sudah banyak juga Romo yang abunya disimpan di sana. Tidak menyangka Romo Halim meninggal karena Covid. Begitu disiplin. Usianya pun baru 65 tahun —yang untuk zaman sekarang masih dibilang muda.
Awalnya, disangka, Romo Halim dapat serangan jantung. Beliau memang ada riwayat jantung. Itu dua tahun lalu. Ketika beliau ke Australia. Untuk memberi pelayanan di sana. Di antara jemaat itu ada yang dokter. Tidak hanya satu. Beberapa orang dokter. Secara iseng ditawarkanlah agar Romo mau diperiksa. Ternyata ditemukan ada penyumbatan jantung: harus dipasang ring.
Mau dipasang di Australia atau di Indonesia? “Di Indonesia saja,” ujar beliau. Itu memang dilakukan. Ternyata harus dipasang dua ring. Lalu beres. Sehat. Terasa enak. Tidak ada masalah.
Di masa Covid ini beliau menyadari itu. Punya penyakit jantung adalah komorbid yang bahaya di masa Covid. Karena itu Romo Halim sangat hati-hati. Juga rajin olahraga. Tiap hari beliau main pingpong. Di rumahnya. Minggu lalu Romo Halim ke kantor. Ada yang harus diselesaikan. Di kantor Romo Halim bertemu Romo lain. Bicara-bicara.
Besoknya Romo Halim dapat kabar bahwa teman ngobrolnya kemarin positif Covid. Romo Halim pun curiga pada diri sendiri. Di lakukanlah test antigen. Negatif. Tapi hari itu tidak main pingpong. Romo Halim sudah merasa ada yang kurang beres.
Besoknya beliau tes lagi. Negatif lagi. Tapi juga tidak main pingpong. Hari ketiga Romo Halim main pingpong. Terjatuh. Dikira jantung yang bermasalah. Dilarikanlah ke rumah sakit. Meninggal. Ditemukanlah bahwa Romo Halim ternyata positif. (dahlan iskan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: