Porang Glukomanan

Porang Glukomanan

PETANI porang kini merambah ke mana-mana. Pun sampai ke Riau. Juga Sumbawa. Tidak lagi hanya di Jateng dan Jatim. Di Gunung Kidul merajalela. Di Ponorogo demikian juga.

Pun Pantura seperti Tegal dan Batang. “Apakah ini tidak berbahaya? Apakah harga tidak akan jatuh?” tanya seorang peserta seminar Zoom yang diadakan Paguyuban Petani Porang Nasional kemarin. Saya tidak bisa menjawab. Saya sendiri terheran-heran. Tujuh tahun lalu, ketika saya ke Purwodadi dan Blora, masih sulit meyakinkan petani untuk menanam porang.

Tapi hasil menanam porang memang meyakinkan. Harga pun masih terus naik —sampai saya sendiri miris. Harga yang terlalu baik justru tidak baik. Bisa jadi, suatu saat akan berubah jadi bencana: ketika benih sudah ikut naik, jangan sampai harga tiba-tiba jatuh. Petani bisa rugi.

Sampai hari ini harga porang masih terus tinggi. Bisa Rp8.000/kg. Padahal biaya tanam dan rawatnya sangat rendah. Hanya sekitar Rp2.000/kg. Maka banyak petani porang sangat menikmatinya. Lalu, tanpa dikampanyekan pun, petani tergerak sendiri untuk tanam porang.

Yang jelas Indonesia masih impor glukomanan. Sampai sekarang. Impornya masih 100 persen pula. Glukomanan atau konjak, bahan bakunya harus dari porang.

Kita hanya bisa ekspor porang dalam bentuk umbi. Belakangan mulai berdiri beberapa pabrik tepung porang. Tepung itu mereka ekspor. Lumayan. Maju selangkah. Tepung porang itulah yang jadi bahan baku pabrik glukomanan di luar negeri.

Petani porang adalah petani yang paling mandiri. Pupuknya tanpa subsidi. Pasarnya bebas. Penyuluhannya dari sesama petani. Saya bangga dengan itu. Mereka tidak ingin pemerintah membantu —ujung-ujungnya justru bisa bikin repot. Dan bikin ketergantungan. “Lebih baik seperti ini. Jangan cengeng,” kata saya pada mereka. “Jangan merepotkan pemerintah. Nanti justru bikin kita repot,” kata saya lagi.

Dalam banyak hal pemerintah itu tidak perlu membantu. Yang penting jangan ngrusuhi —jangan mengganggu.

Tidak banyak komoditas pertanian yang bisa memberikan imbal hasil sebaik porang. Tebu pasti kalah. Apalagi padi. Jagung. Kedelai. Tapi begitu meluas petani yang menanam porang sekarang ini. Pesantren kami di Pangandaran pun saya minta tanam porang. Di pekarangannya yang luas itu.

Begitu banyak makanan yang tergantung pada glukomanan. Kue atau minuman jelly pasti impor glukomanan. Makanan yang memerlukan kekenyalan pasti mengandung glukomanan. Termasuk bulatan-bulatan dalam minuman boba yang lagi ngetop sekarang. Bagaimana masa depan porang? Apakah akan menghadapi kelebihan pasok?

Saya pun menghubungi relasi lama saya. Hamzah Muhammad Ba\'abud. Yang 7 tahun lalu saya gelari anak muda andalan. Yang tinggal di Lawang, Malang. Yang mampu menciptakan mesin pengolah rumput laut. Agar kita tidak lagi impor karagenan 100 persen. Yang bahan bakunya rumput laut.

Waktu itu kita hanya bisa ekspor rumput laut kering. Lalu impor karagenan. Hamzah tidak omong kosong. Ia membuat pabrik karagenan di Pasuruan. Ia olah rumput laut kering menjadi tepung karagenan. Yakni bahan baku makanan dan pasta gigi dan banyak lagi. Pabrik karagenannya bertahan sampai sekarang. Bahkan kian besar.

“Sudah dua kali lebih besar dari waktu Pak Dahlan pertama ke sini,” ujar Hamzah.

Enam bulan lalu saya hubungi lagi Hamzah. Saya sampaikan persoalan mirip rumput laut di bidang lain: porang. Sambil berharap Hamzah memikirkan untuk menciptakan mesin pembuat tepung glukomanan. Yang bahan bakunya porang. Setelah itu beberapa kali lagi saya hubungi Hamzah. Terakhir kemarin sore.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: