Peta Jalan Pendidikan Disoal

Peta Jalan Pendidikan Disoal

JAKARTA-Penyusunan Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035 yang tengah disusun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menuai polemik.

Sebab, dalam draf terbaru, kata akhlak dan budaya digunakan untuk menggantikan hilangnya frasa agama.

Dalam draf rumusan paling mutakhir tanggal 11 Desember 2020, frasa agama menghilang dan kata budaya masuk sebagai acuan nilai mendampingi Pancasila. Visi Pendidikan Indonesia 2035 tertulis “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila”.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menilai, hilangnya frasa \'agama\' merupakan bentuk melawan konstitusi (inkonstitusional). Sebab, jika merunut pada hierarki hukum, produk turunan kebijakan seperti peta jalan tidak boleh menyelisihi peraturan di atasnya yaitu, Peraturan Pemerintah, UU Sisdiknas, UUD 1945 dan puncaknya adalah Pancasila.

“Visi Pendidikan Indonesia 2035 semestinya berbunyi sebagai berikut, Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, unggul, terus berkembang, dan sejahtera, dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, Pancasila, dan budaya Indonesia,\" kata Haedar di Jakarta, Senin (8/3).

Haedar menambahkan, bahwa pada ayat 5 Pasal 31 UUD 1945 dijelaskan secara eksplisit, bahwa agama sebagai unsur integral di dalam pendidikan nasional. “Kenapa Peta Jalan yang dirumuskan oleh Kemendikbud kok berani berbeda dari atau menyalahi pasal 31 UUD 1945. Kalau orang hukum itu mengatakan ini Pelanggaran Konstitusional, tapi kami sebagai organisasi dakwah itu kalimatnya adalah tidak sejalan dengan Pasal 31,” tegasnya.

Haedar menegaskan, bahwa pandangan soal pentingnya agama masuk dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia jangan dinilai sebagai ekslusif dan dogmatis beragama, apalagi dianggap bersifat primordial.

“Peta jalan pendidikan itu harus konstitusional dan memiliki pijakan kuat pada konstitusi. Jadi konsep dasarnya harus pendidikan konstitusional,” ujarnya.

Apalagi, kata Haedar, untuk jangka panjang tidak boleh melompat dan terputus dari pasal 31 UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003. Menurutnya, aspek fungsionalnya seperti memenuhi tantangan zaman tentu diperlukan. “Tetapi, yang fundamental dan jelas-jelas disebut di ayat 3 dan 5 pasal 31 UUD 1945 niscaya masuk dan tidak cukup terwakili dengan kata akhlak mulia,” katanya.

Senada, Kepala LP Maarif NU, KH Arifin Junaidi menyatakan, bahwa pihaknya telah memberikan masukan kepada Kemendikbud terkait dengan Peta Jalan Pendidikan Nasional (Diknas) 2020-2035, langsung kepada Mendikbud yang didampingi seluruh eselon I pada tanggal 25 Januari lalu.

“Kami memberi masukan agar perlunya penanaman ajaran dan nilai-nilai agama sesuai yang dipeluk peserta didik. Kami juga mengusulkan penggunaan frasa merdeka belajar dikembalikan ke frasa yang diintrodusir Ki Hajar Dewantara, yakni menekankan pada pengembangan karakter bukan penekanan pada literasi numerasi,” kata Arifin.

Menurut Arifin, aspek pengembangan peserta didik tidak hanya aspek knowledge, skill dan attitude, tapi ditambah dengan aspek pengembangan sosial. “Mengenai pusat pendidikan yang selama ini disebut tri pusat pendidikan, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat, perlu ditambah satu lagi yakni, tempat ibadah, sehingga menjadi catur pusat pendidikan,\" tuturnya.

Arifin menambahkan, dalam sistem pendidikan seharusnya terdapat dimensi antropologi manusia Indonesia. Yaitu bagaimana kita memandang manusia Indonesia yang memiliki akar budaya bangsa, tradisi spiritual-religius, dan sebagai makhluk ciptaan-Nya memiliki tugas dan panggilan yang unik sebagai individu dan warga negara.

“Isi fundamental sebuah sistem pendidikan adalah visi besar pendidikan masa depan, yaitu sistem pendidikan Indonesia masa depan akan membentuk dan mempersiapkan warga negara dengan kompetensi dan karakter yang sesuai dan andal,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: