Budaya Rujak Pare
MAKANLAH rujak pare dan sambal jombrang. Tiap tanggal 13 Mei –seperti Kamis lalu. Begitulah cara baru mengenang kerusuhan Mei 1998.
Memang ada yang menempuh cara budaya untuk memperingati kerusuhan besar itu. Itulah kerusuhan yang menjadi tonggak munculnya era demokratisasi di Indonesia sekarang ini.
Yang menggagas gerakan \'\'rujak pare dan sambal jombrang\'\' ini adalah tokoh Tionghoa Semarang: Harjanto Halim. Nama Tionghoanya Liem Toen Hian (林敦贤).
Gerakan makan \"rujak pare dan sambal jombrang\" ini disertai pakai pita hitam di lengan. Cara itu melengkapi cara-cara lain yang ada selama ini.
Misalnya ada kelompok yang minta peristiwa harus dilupakan saja. Agar tidak mengusik ketenangan yang sudah tercipta.
Ada pula yang ingin memaafkannya tapi jangan melupakannya. Ada lagi yang ngotot agar peristiwa tersebut harus diusut siapa dalangnya. Keadilan dan kebenaran harus ditegakkan.
Harjanto memilih jalan budaya. Ia ingin setiap tanggal 13 Mei, masyarakat Tionghoa membuat rujak pare dan sambal jombrang. Yang sangat pedas. Harjanto sampai menciptakan resep sendiri. Juga uraian bagaimana cara pembuatannya. Resep itu sudah ia masyarakatkan lewat medsos.
Ia sendiri punya medsos yang ia namakan \'\'DaHar\'\' –Dapur Harjanto. Dahar –yang dalam bahasa Jawa berarti makan– memuat banyak kegiatan dari rumah perkumpulan Boen Hian Tong (BHT). Harjanto sendiri adalah ketua BHT –yang dalam bahasa Indonesia disebut Perkumpulan Rasa Darma Semarang.
Kamis malam kemarin, ia kembali membuat rujak pare dan sambal jombrang. Untuk disajikan di altar sembahyang di kelenteng itu. Juga untuk disajikan bagi mereka yang ikut peringatan peristiwa Mei 1998 di situ.
Di altar itu kemarin juga diadakan upacara khusus: menempatkan \'\'sinci\'\' baru. Yakni sebilah kayu yang ditulisi nama seseorang yang sudah meninggal dunia.
Nama yang ada di sinci baru itu adalah: Ita Martadinata Haryono. Dia seorang gadis berumur 17 tahun. Kelas 2 SMA. Dia meninggal tanggal 9 Oktober 1998. Badannya tergeletak di lantai di kamar atas rumah orang tuanyi. Di Jakarta Timur. Lehernyi nyaris putus. Ada kayu tertancap di vaginanyi.
Nama Ita perlu ditempatkan di altar tersebut sebagai simbol korban kerusuhan Mei 1998.
Di altar tersebut, di tahun 2014, juga ditempatkan sinci orang terkenal: KH Abdurrahman Wahid. Gus Dur. Presiden ke-4 kita.
Dengan demikian siapa pun yang sembahyang di altar itu akan otomatis sembahyang juga untuk Gus Dur dan Ita Martadinata.
Sebagai aktivis Tionghoa, Harjanto terus berpikir bagaimana menempatkan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Yang tidak perlu membuka luka lama tapi juga jangan sampai melupakannya. Maka ia memilih lewat cara budaya itu.
Sudah menjadi budaya di kalangan Tionghoa untuk selalu memperingati sesuatu dengan sajian makanan. Ada hari raya bakcang, hari raya rebutan, hari raya Imlek, cap gomeh –yang semuanya serba bernuansa makanan.
Maka Harjanto berpikir makanan apa yang cocok untuk memperingati kerusuhan Mei 1998.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: