Kasus Dr Saiful Mahdi: Merdeka Berpendapat di Kampus (Tidak) Merdeka Berujung Petaka

Kasus Dr Saiful Mahdi: Merdeka Berpendapat di Kampus (Tidak) Merdeka Berujung Petaka

UNTUK kesekian kalinya UU ITE  jadi sorotan karena kembali menimbulkan kontroversi, kali ini yang menjadi korbannya adalah bagian dari masyarakat akademis. Di bulan yang sering dijuluki sebagai September Ceria  ini, ternyata diawali dengan peristiwa Suram bagi kebebasan berpendapat khususnya di lingkungan dunia akademis. Tepat tanggal 2 September 2021, Dr Saiful Mahdi menjalani vonis terhadap dirinya yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Negeri Banda Aceh.

Masyarakat bertanya-tanya, bagaimana bisa UU ITE yang kemudian sejak tgl 23 Juni 2021  dilengkapi oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) dari 3 lembaga yaitu Menteri Komunikasi dan Informasi, Kapolri dan Jaksa Agung sebagai respon suara publik agar UU ini tidak lagi memakan korban karena sifat pasal karetnya kini kembali memakan korban? Lebih memprihatinkan lagi korbannya adalah seorang akademisi dan peristiwa yang menjeratnya pun berada di wilayah otoritas kampus.

Bukankah Kampus adalah wilayah akademis di mana seharusnya kekuatan utamanya adalah unjuk pendapat bukan ranah unjuk kuasa? Setiap permasalahan yang timbul yang dilatarbelakangi oleh perbedaan pendapat seharusnya diselesaikan melalui adu argumen bukan adu kuasa.

Dalam tulisan ini penulis akan menyoroti kasus yang menimpa Dr Saiful Mahdi bukan dari sisi hukumnya akan tetapi lebih kepada bagaimana kasus ini berpengaruh terhadap budaya kehidupan kampus yang memiliki dan menjunjung tinggi akan kebebasan berpendapat.

Kampus, Kaum Intelektual dan Kebebasan Berpendapat

Sebagai lembaga pendidikan, tugas utama kampus adalah menumbuh kembangkan potensi peserta didiknya menuju pribadi yang memiliki kompentensi di bidang keilmuan tertentu serta berintegritas pada nilai-nilai moralitas.

Keberadaan kampus diharapkan tidak hanya menjadi Menara Gading yang hanya menarik untuk dipandang tetapi minim kegunaan praksis, kampus  harus berperan dalam meningkatan kehidupan yang lebih berkeadaban bagi masyarakat sekitarnya.

Hal ini dikarenakan masyarakat kampus terdiri dari para ilmuwan yang juga sekaligus diharapkan sebagai para intelektual. Apa bedanya ilmuwan dengan intelektual? Jalaludin Rahmat melalui sambutannya dalam Buku Ideologi Kaum Intelektual, Karya Ali Syari’ati (Mizan, 1994: 14), menjelaskan tugas seorang ilmuwan adalah menemukan kenyataan, seorang intelektual menemukan kebenaran. Ilmuwan harus menampilkan fakta sebagaimana adanya, intelektual memberikan penilaian sebagaimana seharusnya.

Untuk  menumbuh kembangkan potensi sebagai ilmuwan maupun intelektual, kampus harus mengembang suasana akademis di mana setiap individunya memiliki kebebasan mengeluarkan pendapat serta membuka ruang dialog yang luas. Kampus yang membatasi kebebasan berpendapat maka kampus tersebut menuju kematian, kampus yang menolak kebenaran maka kampus tersebut telah mati.

Dr Saiful sebagai bagian dari masyarakat kampus telah  memerankan dirinya sebagai insan intelektual, di mana beliau merespon peristiwa yang terjadi di lingkungan tempatnya berkiprah. Kegiatan rekruitmen CPNS di Fakultas Universitas Syiah Kuala pada tahun 2018 dikritik oleh Dr Saiful Mahdi tak sesuai persyaratan karena terdapat peserta yang tak sesuai persyaratan namun diloloskan oleh pihak kampus.

Sebagai kaum intelektual tentu tidak akan berdiam diri melihat peristiwa yang menyimpang terjadi di depan dirinya. Melaui media social WhatsApp Grup sesama akademisi di kampus nya, beliau menyampaikan kritiknya sebagai bentuk kebebasan berpendapat serta kepeduliannya terhadap berjalan clean governance dalam proses rekruitmen tersebut.

Kebebasan Berpendapat di Kampus (tidak) Merdeka Berujung Petaka

Kebebasan berpendapat merupakan salah satu Hak Asasi yang dimiliki oleh semua orang di negeri ini. Hal itu telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: