Kasus Dr Saiful Mahdi: Merdeka Berpendapat di Kampus (Tidak) Merdeka Berujung Petaka
Dan Pasal 28F UUD 1945, yang berbunyi:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Terkait dengan kebebasan berpendapat di lingkup akademik sendiri sebenarnya telah diatur dalam undang-undang dikti Nomor 12 tahun 2012 pasal 8 ayat 3 mengenai pelaksanaan kebebassan akademik, kebebasan mimbar, otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi civitas akademika yang wajib dilindungi dan difasillitasi oleh pimpinan perguruan tinggi.
Kebebasan mengeluarkan pendapat adalah sesuatu keniscayaan di sebuah negeri Merdeka. Isaiah Berlin merumuskan dua konsep kemerdekaan dan kebebasan: ”kebebasan negatif” (bebas dari berbagai bentuk ancaman dan penindasan), ”kebebasan positif” (bebas untuk mengembangkan diri dan kehidupan).
Dalam artikelnya di Republika co.id, (22 Agustus 2013), Yudi Latief menjelaskan pengertian Merdeka. Dari bahasa Kawi/Sanskerta maharddhika, kata \'merdeka\' secara etimologis berarti \'rahib/biku\' atau \'keramat, sangat bijaksana/alim\'. Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi), kata ini sering dinisbahkan kepada para \"pandita\" atau biku Buddha.
Mengingat status para biku yang begitu tinggi dalam sistem stratifikasi sosial umat Buddha, kata merdeka mengandung arti \'seseorang/sesuatu yang memiliki kedudukan yang terhormat dan mulia\'.
Mengacu pengertian ini, diharapkan bahwa di sebuah negeri yang sudah merdeka maka setiap individunya diperlakukan sebagai warga negara utama di mana setiap individu tersebut diperlakukan sama serta setiap pendapatnya perlu diperhatikan.
Kampus seharusnya mendorong suasana kehidupan social yang egaliter di mana setiap individunya memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapat serta mengembangkan dirinya, adalah sebuah konsekuensi dari pengakuan terhadap kebebasan berpendapat tentunya terciptanya hubungan yang demokratis sesama insan akademis di lingkungan kampus.
Dialektika pemikiran sebagai upaya menuju peradaban yang lebih baik adalah sebuah keniscayaan. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan insan kampus bukan saja yang memiliki kompetensi di bidang ilmunya masing-masing, tetapi perlu dilengkapi dimiliki sikap yang demokratis.
Dalam upaya mencapai suasana kampus yang ideal tersebut kampus harus memulai menerapkan meritokrasi dalam rekruitmen insan-insan yang akan berkiprah di dalam kampus tersebut. Melalui penerapan system meritokrasi, kampus dapat menjadi role model bagi terselenggaranya clean governance.
Ketika kampus dipandang bukan lagi tempat tumbuh dan berkembangnya suasana akademis yang demokratis di mana mengutamakan dialog bukan monolog, diskusi bukan indoktrinasi, keakraban bukan kekerabatan maka insan masyarakat kampus sudah kehilangan kemerdekaannya.
Berkaca pada kasus Dr. Saiful Mahdi di mana otoritas kampus menunjukan kuasanya dengan menyimpulkan sendiri apa yang dinilai benar, apa yang dinilainya kepantasan, apa yang dinilainya batas kesopanan tanpa mengutamakan suasana dialogis serta hubungan kolegial yang penuh keakraban serta lebih mengutamakan mengkriminilasi terhadap individu yang berpikiran kritis dan berbeda, maka dapat berakibat fatal serta ancaman bagi kebebasan berpendapat dan kehidupan kampus yang demokratis.
Diawal reformasi Prof BJ Habibi mengungkapkan sebuah statement yang dikenang sampai saat ini.
“Penjara itu tempatnya bagi pelaku criminal, bukan bagi orang yang berpendapat.”
Kalo seorang intelektual yang mengekspresikan kritiknya kemudian berakhir dipenjara, lalu negara ini mau jadi apa? Kalo seorang intelektual yang mengekspresikan kritiknya kemudian berakhir di penjara, lalu negara ini mau jadi apa?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: