Gundah Garuda

Gundah Garuda

PERASAAN saya campur-aduk Minggu sore lalu. Yakni ketika untuk kali pertama kembali naik pesawat. Setelah lebih dua tahun grounded akibat Covid-19.

Gundah-gulana itu membolak-balik kalbu. Sejak berangkat, sampai di bandara, di atas pesawat, pun ketika tiba. Sepanjang penerbangan yang terpikir hanya Garuda, Garuda, Garuda. Untung ini penerbangan pendek. Hanya dari Surabaya ke Jakarta.

Kegundahan itu karena -antara lain- saya pilih naik Garuda. Tepatnya, teman saya yang memilihkan. Saya sempat kesasar: ke terminal 2 Bandara Juanda. Di situlah dulu Garuda menjadi rajanya. Dari jauh sudah terlihat sepi. Tapi tetap bersih.

“Garuda sudah tidak di sini lagi?” tanya saya kepada petugas yang kelihatannya sedang melakukan kontrol. “Sudah dua tahun pak,” jawabnya. “Semua disatukan di terminal 1,” tambahnya.

Kami pun balik kucing. Ketika membayar di loket parkir saya bertanya: kok loketnya buka, memangnya ada yang datang ke sini? “Kadang ada. Untuk pesawat carter,” jawabnya. Berarti hanya sesekali saja. Dengan jumlah penumpang sangat terbatas. Betapa kesepian penjaga loket itu.

Di Surabaya, jarak terminal 2 dan 1 berjauhan, berseberangan. Dipisahkan oleh runway. Harus memutar jauh. Tapi lalu-lintas sepi. Terminal 2 itu dibangun demi Garuda. Agar tidak tercampur dengan Lion Group yang terus berkembang.

Investasi baru terminal 2 –yang sepenuhnya menggunakan uang Angkasa Pura didedikasikan untuk kehormatan Garuda. Betapa kasihan PT Angkasa Pura. Demi Garuda investasinya tidak mendapatkan return yang memadai.

Masih ada investasi yang lebih baru. Untuk memperpanjang terminal 1. Agar terminal haji dan umrah di terminal tambahan itu. Baru saja selesai, langsung terjadi pandemi. Sepi. Sekarang di terminal perpanjangan itulah semua penerbangan dilayani. Toh jumlahnya tidak banyak lagi. Sekalian terminal lamanya diperbaiki.

Hari itu hanya ada dua penerbangan Garuda untuk Jakarta-Surabaya. Kali ini bukan lagi karena pandemi. Sedih sekali. Teringat dulu, hampir setiap jam. Pun jenis pesawatnya. Di jadwal penerbangan saya itu biasanya menggunakan Airbus A330-800 neo. Yang baru. Yang berbadan lebar. Diganti menjadi Boeing 737. Saya memakluminya. Sepenuh hati.

Di sepanjang koridor menuju pesawat beberapa petugas mendekati saya. Setengah berbisik ia bertanya: bagaimana Garuda pak? “Anda lebih tahu,” jawab saya lirih.

Memasuki pesawat saya sapa Menhub Budi Karya Sumadi yang duduk di kursi paling depan. Dua tahun lebih saya tidak memasuki pesawat seperti ini. Tapi “rasa Garuda”-nya masih sama. Masih elegan. Bergengsi. Keramahan pramugarinya juga masih yang dulu. Di dinding depannya juga masih menempel tanda penghargaan itu: Garuda sebagai penerbangan terbaik di dunia –untuk kelas ekonominya.

Juga masih tepat waktu. Masih pula ada sajian –air dan roti. Sepanjang penerbangan perasaan aneh muncul dari sanubari: rasa kasihan dan simpati. Kebanggaan lama seperti muncul kembali. Menguasai sanubari. Mungkin karena cuaca di musim hujan ini lagi baik. Tidak ada guncangan sama sekali. Akankah seluruh kebanggaan itu berakhir?

Garuda masih punya waktu 30 hari lagi untuk bersepakat atau tidak bersepakat dengan penggugat pailitnya. Kalau sepakat Garuda masih punya kemungkinan hidup lagi. Kalau tidak sepakat pengadilan yang memutuskan: pailit.

Posisi Garuda kuat: bisa mengancam akan memperkarakan mereka soal korupsi masa lalu. Untuk bisa mengulur jangka pembayaran dan mendapatkan tarif sewa yang lebih murah. Juga kuat karena pasar domestik Garuda sangat besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: