Pasar Mambo Tidak Menyalahi Aturan
KEJAKSAN - Pengamat Kebijakan Publik, Irsyad Sidik SH, menilai telah terjadi salah persepsi mengenai penyebutan Sungai Sukalila. Sebab, bila dilihat dari definisi, maka Sungai Sukalila tidak tepat disebut sungai. Lebih tepatnya adalah saluran air, hanya saja saluran air dengan volume yang cukup besar. “Kalau disebut selokan memang terlalu besar, tapi kalau dilihat dari definisinya, Sungai Sukalila itu bukan sungai. Mungkin lebih tepatnya hanya saluran air saja,” ujar dia, saat ditemui di ruang kerjanya, belum lama ini. Menurut Irsyad, pendefinisian Sukalila sebagai sungai atau saluran air sangat penting, sebab akan berpengaruh pada kebijakan yang akan dibuatnya. Bila saluran air yang melintasi kawasan Sukalila itu adalah sungai, maka relevan untuk diterapkannya peraturan daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat ataupun aturan lain mengenai kawasan bantaran sungai. Tapi, kalau ternyata saluran air tersebut tidak tepat untuk didefinisikan sebagai sungai, maka aturan mengenai kawasan bantaran sungai tidak berlaku. “Kalau menurut saya itu bukan sungai, nggak masuk definisi sungai. Sungai itu ada hulunya, coba tunjukkan sama saya Sungai Sukalila itu hulunya di mana?” tandasnya. Irsyad menjelaskan, terbentuknya saluran air Sukalila adalah buah dari kebijakan Pemerintah Kota Cirebon sekitar tahun 1980-an untuk solusi banjir di kawasan Gunungsari, Sukasari, dan sebagian Jl Kartini. Aliran sungai yang mengarah ke kawasan tersebut dan seringkali meluap kemudian dibuat sodetan yang kemudian dialirkan ke banjir kanal dan terjadilan saluran air Sukalila. Kaitannya dengan Pasar Mambo, penerapan Perda Pemprov Jabar mengenai kawasan bantaran sungai atau atauran apapun menjadi tidak relevan, karena kawasan bantaran yang ditempati pedagang bukan bantaran sungai. Dan bila diperhatikan dari kinerjanya, saluran air Sukalila tidak dalam kondisi aktif mengalir karena sifatnya yang memang hanya saluran air. “Pemkot harus membuat ketetapan dulu, Sukalila itu sungai atau bukan. Jangan sampai keputusan yang dibuat malah nantinya salah,” pintanya. Pasar Mambo, kata Irsyad, adalah bentuk inkonsistensi pemerintah kota. Inkonsistensi terlihat dalam proses pembangunan, karena perencanaannya Pasar Mambo itu adalah nonpermanen. Tetapi dalam pelaksanaannya justru permanen, dalam persoalan ini pedagang tidak bersalah, tetapi yang bersalah adalah pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjiannya. Tapi, pada akhirnya kini pedagang yang menjadi korban setelah pemkot berencana melakukan pembongkaran. “Kenapa dari awal kok malah dibiarkan, sekarang yang menjadi korban adalah pedagang,” sesalnya. Terpisah, Ketua Koperasi Mambo Mulya, Agus Saputra, mengakui sudah menerima surat balasan atas surat permohonan perpanjangan kontrak Pasar Mambo yang beberapa bulan lalu dikirimkannya kepada walikota. Kendati demikian, Agus belum mau membeberkan detil isi surat tersebut, termasuk tenggat waktu yang diberikan pemkot kepada pedagang untuk pindah dari Pasar Mambo. “Nanti ajalah sekalian,” ucap dia, singkat. SALAH KAPRAH Terpisah, mantan anggota DPRD Kota Cirebon periode 2004-2009, Rifdy Attamimi SHNot mengungkapkan, rencana pemkot membongkar Pasar Mambo adalah salah kaprah. Menurutnya, yang harus dicermati adalah isi perjanjian awalnya, yakni Pemkot dengan CV Maximum Promosindo dan CV Maximum dengan Koperasi Mambo Mulya. Habisnya perjanjian kerja pada tanggal 15 Desember 2010, artinya bukan untuk membongkar Pasar Mambo, melainkan sebagai momen evaluasi kinerja Koperasi Mambo Mulya selama 5 tahun berjalan sebagai pengelola. Senada diungkapkan Ketua Badan Komunikasi Ikatan PKL (BKI-PKL), Hendi. Menurutnya, adanya rencana Pemkot untuk relokasi Pasar Mambo ke Lt 2 Pasar Pagi, berarti mengembalikan para pedagang ke jurang kesengsaraan. “Kalau memang Pemkot memaksakan relokasi. Apakah siap menanggung biaya hidup para pedagang dan keluarganya?” tuturnya. Hendi juga menyinggung, apakah Perda Jabar No 8 Thn 2005, hanya berlaku untuk Pasar Mambo, tidak di tempat lain. “Pemkot harus adil, banyak bangunan yang berdiri di sepanjang bantaran Kali Sukalila. Kantor Bappeda, rumah salahsatu anggota dewan, pasar bunga, para pedagang figura. Jadi jangan tebang pilih, biar tidak terjadi diskriminasi,” pungkasnya. (yud/hsn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: