Penggalian Nilai-Nilai Universal Agama Perlu Dilakukan untuk Tegakkan Moralitas Serta Etika di Kehidupan

Penggalian Nilai-Nilai Universal Agama Perlu Dilakukan untuk Tegakkan Moralitas Serta Etika di Kehidupan

Penggalian Nilai-Nilai Universal Agama Perlu Dilakukan untuk Tegakkan Moralitas Serta Etika di Kehidupan Berbangsa dan Bernegara-istimewa-radarcirebon.com

“Ini ada masalah pada media sosial. Di kalangan netizen, saya melihat banyak pikiran busuk. (Tapi) Ini masalah netizen, bukan masalah citizen. Kelihatannya citizen tidak bermasalah besar,” ujar Moch Qasim Mathar, Guru Besar UIN Alauddin Makassar.

Di sisi lain, paradoks keagamaan sendiri juga memiliki banyak problematika. Di antaranya paradoks Ketuhanan yang Maha Esa yang bersifat mandatory monotheism yang memformalisasi kepercayaan dan mengklaster kepercayaan menjadi sebuah agama tertentu sehingga memaksa keseragaman dalam beragama.

Selain itu juga paradoks harmoni beragama yang tidak tercipta karena adanya pembatasan hak umat oleh negara karena faktor keamanan dan ketenangan di masyarakat. Selain itu, terjadi juga pengkelasan dan favoritisasi dalam kehidupan beragama di Indonesia sehingga menyebabkan segregasi sosial yang berdampak baik di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Paradoks yang terakhir adalah paradoks ketidakselarasan antara agama dengan perilaku niretika masyarakat beragama yang ternyata berbanding terbalik dengan praktik sarat etika pada negara yang justru sekuler.

BACA JUGA:Attaqwa Center - JIC Gelar Digital School, Khususnya Remaja Masjid Se-Wilayah III Cirebon

“Paradoks negara beragama dan berketuhanan, ada korelasi yang sepertinya negatif antara kesejahteraan, kebahagiaan, serta korupsi dengan keyakinan tentang pentingnya agama,” ujar Ahmad Najib Burhani, Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Di tengah segala problematika tersebut, yang paling destruktif adalah budaya Machiavelisme yang mengacu pada pandangan bahwa penguasa harus mengutamakan efektivitas dan pragmatisme daripada etika dan moralitas sehingga menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan kekuasaan dan menabrak sendi-sendi moralitas.

Contoh jenis Machiavelisme yaitu praktik korupsi, tidak adil, krisis moralitas, politisasi agama, erosi kepercayaan publik, rendahnya pengendalian diri, budaya transaksional dan rendahnya tanggung jawab.
“Ini satu penyakit dalam politik dan mengacu pada seseorang atau kelompok orang yang bersifat manipulatif, tidak etis, dan instrumental dalam hubungan antar pribadi. Jadi yang penting adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan,” tukas Budhy Munawar Rachman, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Pada akhirnya hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara dengan plurality without equity yang menciptakan problem kemiskinan, dan ketidakadilan struktural di masyarakat.

BACA JUGA:PUI Siap Berjuang Demi Kemenangan Ahmad Syaikhu dan Ilham Habibie di Pilgub Jabar 2024

Selain itu, problem mayoritas dan minoritas juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keadilan dan kesetaraan dalam berbangsa dan bernegara.

“Mayoritanisme ini terjadi di dalam berbagai hal dan menentukan kebijakan termasuk kesadaran politik palsu di masyarakat,” ujar Izak Lattu, Akademisi Universitas Satya Wacana Salatiga.

Maka dari itu pada kesimpulannya adalah apalah arti keunggulan agama jika agama sebagai sumber etik utama tidak mampu mempengaruhi perilaku penyelenggara negara.

Oleh karena itu dalam diskusi kerapuhan etika dengan tema etika dan agama ini menghasilkan rekomendasi sebagai berikut:

Hukum:

-Memasukkan nilai-nilai agama yang universal ke dalam Undang-undang Etik sehingga nilai-nilai agama tidak hanya sebagai nilai moral yang abstrak, tetapi juga keputusan tertulis.
-Pembentukan Mahkamah Etik guna mengefektifan sanksi etika-moral dengan mengupayakan melalui jalur-jalur organisasi profesi berdasar Kode-Etik profesi yang telah disepakati dan disahkan oleh Forum Tertinggi Organisasi Profesi tertentu: organisasi para dokter, organisasi para pengacara, organisasi para guru, organisasi para insinyur dan sebagainya.

BACA JUGA:Partai Buruh Siap Menangkan Paslon Beres Pada Pilkada 2024

-Penegakan hukum dan aturan yang ketat yaitu pemimpin politik harus tunduk pada hukum yang berlaku, dan sistem hukum yang kuat harus mampu menghukum mereka yang terbukti melakukan korupsi atau manipulasi politik.
-Prinsip equality before the law and the Government berujung pada imparsialitas di depan hukum dan pemerintahan diberlakukan untuk seluruh warga negara.
-Kepatuhan kepada konstitusi mengikat kepada penyelenggara negara dan masyarakat
-Mewujudkan putusan hukum yang berkeadilan di setiap level.
-Memberikan sarana dan prasarana bagi penegak hukum dengan baik seperti fasilitas, SDM, serta menjamin kesejahteraan bagi penegak hukum sehingga tidak tergiur oleh berbagai godaan.

Pendidikan:

-Interreligious engagement harus dikedepankan dalam setiap mata pelajaran dan mata kuliah.
-Perlunya penguatan pendidikan agama. Pendidikan agama bukan hanya berfokus pada ritual, tafsir agama tekstualis, hafalan, simbol, namun berfokus pada pembentukan karakter yang mengedepankan toleransi, persatuan dan kemanusiaan.
-Penataan ulang lembaga-lembaga sosialisasi-pendidikan baik pendidikan formal pada semua jenjang maupun pendidikan informal dan pendidikan masyarakat. Pilar utamanya adalah: pendidikan dalam keluarga yang perlu merombak pola-asuh yang piramida tegak menjadi pola asuh piramida terbalik dengan konten dan sasaran utama mentransformasi orientasi budaya “shame culture” menjadi orientasi budaya “guilt culture” yang ujungnya bisa melahirkan manusia-manusia Indonesia yang bertanggungjawab, tidak munafik, tidak manipulatif, transparan, adil, menghargai hak asasi manusia.

BACA JUGA:Polemik Pasar Jungjang Arjawinangun, Pedagang Geruduk Balai Desa Gara-gara Hal Ini
-Digital Civility Index (DCI) menunjukkan bahwa netizen Indonesia menempati urutan terbawah di Asia Tenggara dalam Indeks kesopanan digital sehingga perlu meningkatkan pendidikan literasi digital sejak dini dalam jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
-Mewujudkan peran nilai-nilai universal agama dalam pendidikan moral yaitu pendidikan agama yang mengedepankan toleransi, keadilan, dan empati.
-Pendidikan di Indonesia harus memperhatikan multikultur dalam materi pembelajaran di tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Pendidikan di perguruan tinggi telah terjadi kemerosotan nilai etik diantaranya praktik penjokian, ijazah palsu, jasa pembuatan skripsi/tesis, plagiarisme penulisan artikel dalam jurnal, dan lain sebagainya sehingga nilai-nilai keutamaan perlu diinfusi keseluruh mata kuliah di Perguruan Tinggi.
-Revitalisasi pembangunan karakter dengan sinergi menyeluruh dengan para stakeholders di perguruan tinggi melalui penguatan kelembagaan dan fasilitas pendidikan Mata Kuliah Wajib Kurikulum (MKWK) di perguruan tinggi sehingga tidak hanya sebagai syarat kelulusan namun benar-benar menjadi hal pokok dalam pembangunan karakter mahasiswa khususnya dan masyarakat secara umum.

BACA JUGA:BNI KCP Tentara Pelajar Kota Cirebon Resmi Beroperasi
-Melakukan pendidikan etika berbangsa dan bernegara sesuai konstitusi kepada para anggota dan petinggi partai politik mengenai pelanggaran etika. Pendidikan etika jangan hanya berhenti di kampus namun juga pada instansi publik sebagai pemegang kebijakan agar selalu menyadari pentingnya etika.
-Memperbaiki kualitas guru, dosen atau tenaga pendidik dan pejabat publik umumnya untuk dapat menjadi role model atau living curriculum bagi peserta didik dan anggota masyarakat secara keseluruhan sehingga pendidikan nilai menjadi uswatun hasanah dapat tercapai.
-Pendidikan politik etis yaitu mendorong pendidikan politik yang menekankan nilai-nilai demokrasi, kejujuran, dan integritas kepada organisasi profesi (kadin, advokat, kedokteran, notaris, dan lain sebagainya), organisasi sosial politik, ormas sosial keagamaan dan organisasi sosial kemasyarakatan.

Politik dan Demokrasi:

-Mendorong diperkuatnya dialog antaragama dan lintas budaya. Dialog yang terbuka antara pemimpin agama dan pemimpin politik dapat memperkuat posisi agama sebagai penjaga moralitas dalam politik tanpa harus menjadi alat politik.
-Menggabungkan nilai agama dengan nilai-nilai demokrasi. Agama dapat berfungsi sebagai salah satu sumber moralitas di antara berbagai sumber etika lainnya dalam masyarakat. Dengan menggabungkan nilai-nilai universal agama yang mendorong kebaikan bersama dengan prinsip-prinsip demokrasi seperti transparansi, keadilan, dan hak asasi manusia, masyarakat dapat membentuk sistem yang lebih tangguh dalam menghadapi ancaman Machiavelisme.

BACA JUGA:Nilai Investasi 2 Triliun, Ada Rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu di Cirebon
-Mewujudkan sistem demokrasi transparansi dan akuntabilitas bagi para pemimpin.
Pemilihan yang adil dan bebas yaitu sistem -pemilihan yang demokratis harus dirancang melalui proses yang adil dan terbuka.
-Kebijakan-kebijakan publik yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR harus memperhatikan kebutuhan masyarakat di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
-Membangun institusi demokrasi yang kuat yaitu demokrasi harus didukung oleh institusi yang berfungsi dengan baik, seperti badan legislatif dan pengadilan independen, yang dapat mengontrol dan menyeimbangkan kekuasaan, mencegah perilaku otoriter atau manipulatif.
-Penyelenggara negara harus selesai dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dan dengan Tuhan.

BPIP:

-Penguatan dasar hukum kelembagaan BPIP menjadi naik ke level Undang-Undang.
-Membuat rekomendasi kebijakan yang komprehensif terkait bagaimana menangani kerapuhan etika penyelenggara negara dan bagaimana mengelola kemajemukan nusantara.
-Materi-materi pembelajaran dan Pendidikan Pancasila pada jenjang sekolah dasar sampai menengah melalui Buku Teks Utama (BTU) serta Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) untuk ASN, ormas dan orsospol harus mampu menciptakan “Radikalisasi” Pancasila yaitu mampu merubah dan menjadi tolak ukur perilaku manusia Indonesia dan mentransformasikan pandangan ke-Indonesian, kebangsaan dan kenegaraan.

BACA JUGA:Suradi Akan Dijemput Jum'at Besok, Bertahan Tiga Hari Di Laut, Berhasil Bertahan Hidup

-Perlu silabus dan bahan ajar Pancasila yang dielaborasi dengan budaya dan kearifan lokal sehingga Pancasila tidak terasa abstrak namun benar-benar menyentuh tata kehidupan manusia sesuai dengan adat budayanya.
-Sosialisasi Pancasila butuh pendekatan akar rumput yang melibatkan tokoh lokal, tokoh budaya, pemuka adat, tokoh agama, dan masyarakat dengan pendekatan informal dan nonformal.
-Menginisasi forum diskusi dengan mendudukkan semua pihak, melibatkan pemerintah (eksekutif), legislatif, yudikatif, LSM, masyarakat sipil, tokoh-tokoh pendidikan, tokoh-tokoh agama, untuk membicarakan masalah keagamaan dan perbedaan di masing-masing daerah untuk didiskusikan dengan serius secara bersama-sama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: