Pasar Tradisional, Masih Kumuh dan Becek

Pasar Tradisional, Masih Kumuh dan Becek

SUKA atau tidak suka, keberadaan pasar tradisional masih dibutuhkan masyarakat. Kondisi pasar yang becek, aroma yang ditebar beraneka rasa bukan masalah bagi para penghuninya. Di banyak tempat, pasar tradisional selain menjadi tempat jual beli aneka barang, juga berfungsi sebagai ruang sosialisasi antar masyarakat. Tak ada jarak strata sosial saat pengunjung dan penjual bertemu di pasar tradisional. Entah kelas bawah, menengah maupun atas, campur baur ketika mereka berada di dalam suasana pasar tradisional yang terkadang hiruk pikuk. Alhasil pasar tradisional pun kerap digunakan sebagai media untuk membumikan program pemerintah dan juga dipakai politisi meraup simpati. Di pasar seperti ini, ribuan warga menggantungkan periuk nasinya. Ada yang menyapu, menjaga toilet, menjajakan kantong plastik, bahkan ada yang memanfaatkan jasa parkir. Mereka bekerja mulai tengah malam hingga pagi buta. Uang yang berputar pun jumlahnya bisa miliaran rupiah dalam sehari. Tak heran jika kemudian pasar tradisional kerap disambangi penggede negeri sekadar untuk menarik simpati para penghuninya. Seperti yang diungkapkan Mulyati, pedagang sayuran. Menjelang dini hari, dia biasanya bangun dan berangkat ke pasar untuk belanja sayuran. Menggunakan motor ojek, Mulyati yang sudah puluhan tahun membuka usaha warung sayuran menerebos dinginnya malam. Hanya berbekal bakul dan kain panjang, dia menyasar sejumlah kios yang menyediakan sayuran dan jajanan. Jelang pagi atau sekitar pukul 04.00, Mulyati sudah berada di warungnya. Dagangan yang dipajangnya di warung pun ludes dibeli pelanggannya. Kendati membutuhkan energi, namun wanita itu tetap tangguh menjalani kehidupan. “Sudah engga kerasa lagi capenya, yang ada bagaiamana keluarga di rumah bisa makan. Biasanya saya berangkat ke Pasar Cilimus jam 01.00. Kadang naik mobil angkutan umum, tapi juga sering juga naik ojek. Tergantung bangunnya saja. Kalau telat bangun ya terpaksa naik ojek, meski ongkosnya jauh lebih mahal. Ini sudah saya lakukan sejak puluhan tahun lalu. Kalau engga salah saat pasar Cilimus masih ada di timur,” terangnya sambil memilih sayuran di sebuah kios di Pasar Cilimus. Soal bau khas pasar tradisional, dia mengaku sudah terbiasa. Tanpa menggunakan masker, dia bersama pedagang kecil lainnya berkeliling mencari sayuran yang akan dijualnya kembali. Mulyati dan mungkin pedagang kecil lainnya sangat tergantung terhadap pasar tradisional. Mereka bergelut tengah malam hanya untuk memperoleh beberapa lembar uang puluhan ribu. Di rumah, anak dan keluarga yang lainnya menunggu. Terkadang keuntungan dari menjual sayuran dipakai untuk biaya anak sekolah. Mereka tak mempedulikan kondisi pasar tradisional yang terkesan kumuh. Sepanjang menghasilkan keuntungan, mereka menjadi pelanggan setia pasar tradisional. “Pasar Cilimus sekarang memang sudah bagus, dan tidak becek. Tapi untuk memperoleh kios atau toko di pasar ini, bagi saya pribadi tidak sanggup membelinya. Harganya sangat mahal bagi ukuran pedagang kecil seperti saya ini. Jangankan untuk mencicil kios atau toko, buat makan sehari-hari saja saya kerepotan,” tutur Ebud, pedagang kopi yang membuka usahanya tak jauh dari area parkir belakang pasar. Sebenarnya para pedagang menginginkan pemerintah membangun langsung pasar tanpa mempihak ketigakan. Sebab jika lewat pihak ketiga, harganya akan berlipat. “Masalah intinya adalah harga kios dan toko yang kerap melambung jika pasar itu sudah diperbaiki. Kalau pedagang kecil seperti kami untuk membeli kios atau toko yang mencapai puluhan juta, rasanya tidak mungkin. Ya praktis paling nyari kios di belakang yang harganya bisa murah,” terang Diding, pedagang di Pasar Kramatmulya. Jika Pasar Cilimus, Kramatmulya, dan Ciwaru sudah mentereng, ada beberapa pasar tradisional yang kondisinya masih kumuh dan becek. Terutama pasar desa yang memang belum tersentuh perbaikan pemerintah daerah. Peran pemerintah menyejahterakan masyarakatnya bisa dimulai dari pasar. Sebab di pasar tradisional seperti ini, ribuan warga menggantungkan periuk nasinya. “Selain membangun pasar, ada baiknya pemerintah juga memberikan pinjaman modal. Jangan sampai para pedagang kecil itu terjerat rentenir,” saran Ishak, aktivis mahasiawa. (ags)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: