Perjuangan Fauziah, Guru SD yang Sukses Meraih Gelar Doktor

Perjuangan Fauziah, Guru SD yang Sukses Meraih Gelar Doktor

GURU seperti Fauziah bisa jadi langka. Meski hanya mengajar di sekolah dasar di kampung, dia berhasil mendapat gelar doktor dari universitas ternama. Dia bercita-cita melahirkan lulusan SD yang lebih baik. *** Jari Fauziah bergerak lincah di atas touch pad laptop miliknya. Ketika menemukan file yang pas, dia menekan dua kali untuk membuat dokumen foto yang sebelumnya ditampilkan kecil-kecil menjadi full screen. Dia lalu menunjukkan gambar di laptopnya, kondisi SDN 68 Pontianak Barat, tempatnya mengajar, pertengahan 2009. Dalam gambar itu, terlihat sekolah tersebut masih kumuh. Fauziah menceritakan, tiang bendera di depan sekolah dulu tidak digunakan untuk memasang Sang Merah Putih. Tapi, untuk mengerek kaleng-kaleng bekas, kursi plastik, atau tempat sampah. ’’Mirip hadiah panjat pinang,’’ tuturnya saat ditemui di sela-sela acara Kemendikbud di Hotel Falatehan, Jakarta, Sabtu pekan lalu. Tidak hanya itu, dia makin mengelus dada karena kondisi sekolah makin tidak kondusif untuk belajar lantaran banyak lapak jualan di dalam lingkungan SDN 68. Ditambah para orang tua murid yang suka berisik, guru-guru di SDN 68 seakan kehilangan daya dan tidak mampu berbuat banyak ketika anak-anak memilih berada di luar kelas saat jam belajar berlangsung. Karena itu, Fauziah sempat masygul ketika koleganya menertawakan saat surat mutasi dirinya menjadi kepala SDN 68 turun. ’’Saya penasaran kenapa pada menertawakan. Saya lalu datang ke sekolah itu dengan mengenakan daster untuk menyamar,’’ ujarnya. Ternyata benar kenapa teman-teman gurunya menertawakan dirinya. Fauziah pun speechless melihat kondisi SD yang akan dipimpinnya. Ibu dua anak yang sebelumya diganjar sebagai kepala sekolah terbaik saat memimpin SDN 42 Pontianak itu bingung mengapa dirinya dipindah di sekolah yang morat-marit itu. Dia tahu, hari-harinya ke depan bakal berat. Apalagi pada saat yang hampir bersamaan dengan keluarnya SK itu pada 6 Agustus 2009, datang kesempatan untuk melanjutkan studi ke strata tiga (doktor). Kepalanya sempat pusing karena harus bisa membagi waktu untuk studi S-3 di kampus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan mengepalai sekolah yang melarat. Kisah seru terjadi saat anggota Dewan Pakar Perempuan Melayu Kalimantan Barat itu berusaha keras meraih gelar doktor dan menjadi kepala SDN 68. Dia harus disiplin dalam mengatur waktu di tengah upaya menyelesaikan masalah siswanya yang nakal-nakal. Usahanya tidak sia-sia. Dia mampu meraih gelar doktor pertama di antara 30 peserta program S-3 di Unair. Sebanyak 26 orang di antara jumlah itu adalah dosen Universitas Tanjungpura, Pontianak. ’’Hanya saya seorang yang berasal dari birokrasi pendidikan,’’ terang istri Muhammad Hasan tersebut. Perempuan berjilbab tersebut tidak hanya moncer saat menyelesaikan studi doktornya. Baik gelar sarjana maupun pascasarjana, Fauziah selalu mampu menyelesaikan tepat waktu. Hebatnya lagi, di tengah kesibukan mengajar dan menjadi ibu rumah tangga, dia bisa menyelesaikan semua jenjang studinya dengan predikat cum laude. Ada teknik yang selalu digunakan ibunda Indah Mahfuzhah, 24, dan Hirzan Hasfani, 21, itu untuk disiplin waktu. Bagi dia, untuk menyiasati waktu, semua harus dikalikan nol. Jadi, bilangan berapa pun bila dikalikan nol hasilnya tetap nol. Dengan rumus seperti itu, Fauziah tidak ingin menunda-nunda pekerjaan yang ada. Sebab, menunda pekerjaan berarti membebani pikiran. Karena itu, dia rela tinggal di sekolah sampai sore hari untuk menyelesaikan semua masalah yang ada. Guru yang mengawali karirnya pada pertengahan 1980-an itu paling anti membawa masalah di sekolah ke rumah. Begitu pula sebaliknya. Fauziah baru mengerjakan disertasi saat jarum jam di atas pukul 21.00 atau 22.00. ’’Saya punya banyak schedule. Jadi, saya harus disiplin dengan waktu. Karena itu, tidur dua jam sehari pun saya lakukan,’’ tutur guru kelahiran 6 Agustus 1965 tersebut. Aktivitasnya dimulai saat azan salat Subuh berkumandang. Setelah itu, dia harus ke sekolah untuk bekerja. Tekad untuk menjadi segelintir guru SD bergelar doktor membuat dia enjoy meski harus banyak prihatin. Rasa senang untuk mengerjakan sesuatu tanpa paksaan membuatnya kuat menjalani ketatnya dalam membagi waktu. ’’Saya tidak suka berpikiran buruk karena itu bisa membuat pikiran terkuras. Bisa tidak fokus,’’ terangnya. Memiliki pendidikan tinggi tentu saja membuat Fauziah mampu berpikir cepat. Ada sedikit cerita soal tekniknya menekan kenakalan siswa SDN 68. Dia berusaha membuat guru dan staf bangkit untuk ikut berpartisipasi. Saat menyamar ke sekolah dengan daster, dia merekam beberapa kejadian istimewa. ’’Selama tiga hari, saya temukan 100 kasus yang harus bisa saya pecahkan,’’ katanya. Saat benar-benar menjalani harinya sebagai kepala sekolah, Fauziah mengumpulkan guru dan staf. Pembahasan pada hari keempat September 2009 itu menghasilkan pleno pada Senin-nya. Hasilnya, berbagai permasalahan tersebut menjadi bahan untuk membuat tata tertib sekolah. Itu adalah tata tertib pertama SDN 68 yang dibuat berdasar kondisi riil sekolah. Bukan berasal dari buku-buku yang berisi aturan umum. Tapi, masalah tidak lantas berhenti setelah ada tatib tertulis. Sebulan pertama setelah tatib diberlakukan, dia justru menghadapi banyak perkara yang dilakukan siswa. Yang paling banyak, sebagian siswanya senang mengambil barang orang lain, merokok, dan mabuk nge-lem. Anak-anak yang umumnya berusia belasan tahun itu juga layaknya orang dewasa. Mereka berkelompok, membuat wilayah tersendiri yang tidak boleh diganggu murid lain. ’’Saya pernah diajak berantem sama anak kelas VI. Dia bilang, jangankan ibu, orang tua saya saja saya bawakan parang,’’ ucap siswa bengal itu seperti ditirukan Fauziah. Sadar butuh teknik khusus, Fauziah langsung ’’pasang kuda-kuda’’. Dia mesti menjadi kepala sekolah dengan gaya seperti preman. Tekniknya, pelan tapi pasti, mulai membuahkan hasil. ’’Mereka tidak suka kalau saya seperti preman. Saya bilang, kalau tidak suka preman, jangan jadi preman,’’ urainya. Saat dia berhasil menyelesaikan studinya dan dikukuhkan sebagai doktor di Unair pada 18 Januari 2012, kenakalan di SDN 68 ikut berkurang. Dia menulis disertasi berdasar pengalamannya sebagai kepala sekolah. Baik di SDN 42 maupun SDN 68 Pontianak. Fauziah, rupanya, belum puas dengan capaiannya selama ini. Dia masih ingin meraih gelar pendidikan lainnya yang lebih tinggi. Sambil guyon, guru dengan pangkat pembina utama muda atau IV-c itu berkata, kalau ada guru besar untuk pendidikan dasar, dia akan berjuang mendapatkannya. ’’Kalau ada, lho ya,’’ katanya, lantas terbahak. Tapi, kisah heroik yang dialami Fauziah di SDN 68 Pontianak Barat, tampaknya, telah menjadi kenangan. Sebab, sejak 3 Februari 2014 dia tidak menjadi kepala di SDN itu lagi. Dia dipindah ke sekolah lain, yakni SDN 24 Pontianak. Di tempatnya yang baru, Fauziah tidak menjadi kepala sekolah, melainkan menjadi guru biasa. Meski demikian, itu tidak meruntuhkan niat Fauziah untuk memperbaiki kualitas anak didik usia SD. Ada alasan tersendiri kenapa Fauziah mau menuntut ilmu hingga S-3 meski hanya berkutat di pendidikan dasar. Bagi dia, sekolah memberikan banyak tantangan. Dia mengibaratkan anak SD sebagai fondasi sebuah rumah. Jika sejak awal sudah rapuh, bangunan itu tidak layak untuk dibangun lebih tinggi. ’’Begitu juga dengan anak SD, mereka butuh fondasi kuat sebelum masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi,’’ terangnya. Meski sekarang hanya menjadi guru, Fauziah terus menyebarkan pemikiran-pemikirannya. Caranya, memanfaatkan posisinya sebagai staf Pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) Pendidikan Dasar Kemendikbud. Dia jadi sering diundang menjadi narasumber berbagai forum seminar pendidikan. ’’Soal fondasi itu sering saya uraikan. Karena ini seperti kerapuhan sejak sekolah dan akan terus dibawa sepanjang hidup,’’ terangnya. (Dhimas Ginanjar/c5/c10/ari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: