Uji Publik Kandidat Belum Konkret

Uji Publik Kandidat Belum Konkret

JAKARTA - Penolakan terhadap mekanisme Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan pemilihan oleh DPRD tak pernah surut. Namun, para pengusul RUU Pilkada oleh DPRD nampaknya tak patah arang. Mereka mencoba merebut simpati publik dengan menawarkan mekanisme akuntabilitas dan penerapan sanksi berat terhadap pelanggaran pilkada oleh DPRD. Anggota panitia kerja dan tim perumus RUU Pilkada dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto menyatakan, publik selama ini belum mendapatkan informasi yang utuh terkait mekanisme pilkada DPRD. Padahal, menurut dia, rancangan pasal demi pasal terkait pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukanlah sama seperti mekanisme di Orde Baru. \"Publik pasti terlibat di sini. Sudah ada rancangan pasal demi pasalnya,\" ujar Yandri dalam diskusi di Warung Daun, Jakarta, kemarin (13/9). Yandri menjelaskan, di pasal 14 RUU Pilkada, ada pelibatan publik dalam menentukan calon yang dipilih DPRD. Seorang calon sebelum ditetapkan sebagai peserta wajib membuka rekam jejaknya di depan publik. Seorang calon kepala daerah juga tidak boleh terlibat dalam kasus hukum maupun kasus etik yang belum tuntas proses penyelesaiannya. \"Mulai dari uji kompetensi, uji publik, masyarakat bisa memberikan catatan,\" ujar Yandri. Namun, saat ditanya lebih jauh, Yandri tidak menjelaskan secara detail dan konkret teknis pelaksanaan uji publik itu. Menurut Yandri, draf RUU Pilkada oleh DPRD juga menerapkan sanksi yang berat. Jika bakal atau calon kepala daerah itu terlibat suap demi upaya pemenangan dirinya, maka sanksi diskualifikasi langsung dijatuhkan. Seorang gubernur di provinsi tertentu, juga dilarang melintas untuk maju sebagai calon gubernur di provinsi lainnya. \"Sebaliknya, jika DPRD terbukti terlibat suap, itu juga langsung diberhentikan,\" ujarnya. Semua tahapan tersebut, kata Yandri, akan dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah terkait. Demi menjamin proses pemilihan yang Luber dan Jurdil, Yandri mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) terlibat di setiap tahapan pilkada. \"Jika perlu, disadap juga handphone semua anggota DPRD. Mereka bisa juga dikarantina seminggu sebelum pemilihan, demi menghindari lobi-lobi di luar kantor,\" ujarnya. Yandri juga memastikan bahwa keberadaan calon independen akan tetap terakomodasi. Seperti halnya pemilihan langsung, calon independen juga dipersilakan untuk mengumpulkan dukungan atas pencalonannya, langsung dari publik. \"Calon independen tetap ada, selama dia mendapat dukungan publik, dia tetap bisa maju,\" ujarnya. Anggota Panja RUU Pilkada Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Rahadi Zakaria tetap menolak tegas pilkada oleh DPRD. Rahadi menilai mekanisme pilkada langsung sudah tepat karena bagian dari demokrasi yang sesuai dengan undang-undang. \"Pilkada untuk siapa? Ya untuk rakyat. Kalau untuk rakyat siapa yang harus memilih, tentunya rakyat. Undang-undang telah memberi kewenangan yang sifatnya sangat melekat kepada rakyat, ya harus rakyat yang melaksanakan,\" ujarnya di tempat yang sama. Rahadi menilai, terlalu banyak alasan yang menyebut pilkada langsung banyak cacat dan memiliki biaya tinggi. Menurutnya, alasan itu terlalu mengada-ada untuk menjadi dasar yang kuat menggeser pilkada langsung ke DPRD. \"Tergantung niat kita kok, pilkada langsung mau biaya berapa, penghematan berapa, tergantung nanti diatur dalam undang-undang berikutnya,\" ujarnya. Jika pilkada dikaitkan dengan praktik korupsi, Rahadi juga menilai alasan itu terlalu dicari-cari. Pasalnya, korupsi adalah kejahatan karena niat yang muncul dari pribadi atau sejumlah kelompok. \"Ada niat, ada peluang, ada yang dikorupsi. Tergantung mentalnya. Saya kira itu alasan yang dicari-cari. Rakyat harus diberikan haknya menentukan pilihannya, kalau kembali ke DPRD itu adalah suatu langkah mundur. Demokrasi tidak mengalami pertumbuhan,\" ujarnya. Alasan biaya tinggi, kata Rahadi, bisa dikurangi signifikan dengan pilkada serentak. Bagaimanapun juga, ujar dia, pilkada langsung tetap membutuhkan biaya. Namun, biaya tersebut harus bisa dikontrol semaksimal mungkin. \"Untuk melakukan penghematan, mari kita lakukan kontrol. Jangan jadikan alasan untuk melakukan pemilihan melalui DPRD,\" tandasnya. Dari Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) Kosgoro 1957, Ketua Umum Agung Laksono mengisyaratkan agar Partai Golongan Karya, partai yang didirikan Kosgoro, mendukung pilkada langsung. Agung meminta kepada Partai Golkar mempertimbangkan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat dalam polemik RUU Pilkada saat ini. \"Kosgoro menyerahkan ke DPP Partai Golkar untuk memilih yang terbaik, dengan turut mempertimbangkan dan memperhatikan sungguh-sungguh aspirasi dan saran yang berkembang dalam masyarakat,\" kata Agung. Agung hanya menyebutkan situasi yang berkembang di masyarakat saat ini, namun tidak menjelaskan secara jelas situasi yang dimaksud. Menurut dia, proses pemilihan dalam pilkada harus mempertimbangkan sila ke-4 Pancasila dan pasal 18 UUD 1945. \"Itu bunyinya Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis,\" ujarnya. Sementara itu, hingga hari ini, kelompok masyarakat sipil yang menolak pilkada dikembaikan ke DPRD terus mengalir. Hari ini, misalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Koalisi Kawal RUU Pilkada akan melakukan aksi serentak di 5 kota. Mulai dari Jakarta, Aceh, Bandung, Makassar, hingga Makassar. Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti menilai, pelaksanaan pilkada lewat DPRD yang telah berlangsung sekitar 33 tahun sebelum masa reformasi belum banyak menghadirkan hasil nyata. Menurut dia, tidak banyak kepala daerah yang memiliki prestasi menonjol selama masa tersebut. \"Yang melalui DPRD yang kita kenal hanya Ali Sadikin, sebagian besar hanya elit yang berjarak dengan rakyat,\" kata Ray. Dia juga menyatakan, kalau pelaksanaan pilkada langsung telah membuat rakyat bahagia. Pasalnya, menurut dia, masyarakat biasa yang tidak punya uang sekalipun bisa ikut dalam pertarungan di pilkada. Karena itu, lanjut Ray, jika kalangan DPR tetap memaksakan untuk mengesahkan ketentuan soal pilkada kembali dipilih DPRD, maka hal itu sama saja dengan merampas hak rakyat. \"Merampas sebagian kebebasan kita, karena itu kedaulatan rakyat harus tetap ditegakkan,\" tandasnya. Terpisah, Ketua Umum Asosiasi DPRD Kabupaten se-Indonesia (Adkasi) Salehudin menegaskan keyakinannya, kalau DPRD seluruh Indonesia bakal siap mengikuti aturan turunan di UU, jika nanti pemilihan tak langsung jadi disahkan. \"Prinsipnya, kami selalu siap diawasi dan dikawal, termasuk oleh KPK, tidak ada masalah,\" kata Salehudin dalam pernyataannya, kemarin. Dia menambahkan, dengan aturan kepala daerah dipilih DPRD, maka rakyat dengan sendirinya disadarkan bahwa partai politik tetap merupakan ornamen penting dalam sistem demokrasi di Indonesia. \"Kalau belum sepenuhnya ideal, iya itu memang benar,\" katanya. Tapi, lanjut dia, yang perlu juga disadari publik, kalau semua komponen bangsa hari ini memang sedang terus berbenah. Bukan hanya parpol dan parlemen, tapi juga semua elemen lainnya. Karena itu, menurut dia, jika ada satu pihak yang merasa dirinya sudah paling bersih dan menganggap pihak lain paling buruk, adalah pandangan yang tendensius. Salah satunya, dia kemudian menunjuk, pernyataan yang sempat disampaikan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahok, kalau DPRD hanyalah tempat para pemeras dan perampok. \"Kenapa tidak sekalian saja bubarkan partai dan parlemen, biar dia (Ahok, red) sendiri yang mengelola negeri ini,\" imbuhnya. (bay/dyn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: