Jaksa Bisa Sita Dokumen APBD-P 2014

Jaksa Bisa Sita Dokumen APBD-P 2014

Cecep Siap Beberkan KUA PPAS APBD-P 2014 dari Pembahasan Sampai Diparipurnakan DPRD KEJAKSAN- Desakan agar Kejaksaan Negeri (Kejari) Cirebon segera menelaah laporan mahasiswa soal pengalihan anggaran belanja bus menjadi belanja mobdin muspida terus menggelinding. Bahkan kejaksaan  disarankan menyita dokumen APBD Perubahan 2014 sebagai barang bukti. Menurut pengurus DPD KNPI Kota Cirebon, Faozan TZ SH, laporan mahasiswa sudah telanjur masuk dan kejaksaan harus melakukan penyelidikan. Salah satu cara membuka kasus ini, tambahnya, memanggil eks badan anggaran (banggar) dan sekwan serta meminta barang bukti (BB) APBD Perubahan  dan DPA. “Proses ini (penyelidikan, red) supaya nanti memperjelas ada atau tidak ada perbuatan pidana korupsi. Apabila penyelidikan tidak dilakukan oleh kejaksaan, maka bertentangan dengan KUHAP dan UU Kejaksaan,” beber Faozan kepada Radar, kemarin. Sementara salah satu mantan Banggar DPRD Kota Cirebon, DR Cecep Suhardiman SH MH, mengingatkan wali kota untuk tidak perlu menyuruh masyarakat yang tak tahu menahu hal ihwal pembahasan APBD Perubahan 2014 untuk memberikan pernyataan. Sindiran Cecep ini seperti tertuju pada Ketua LPM Pekalangan Suharto Hadi yang beberapa kali memberikan keterangan kepada pers bahwa pengadaan mobdin muspida sudah sesuai aturan dan sudah disetujui provinsi. “Itu hanya untuk mendukung pengalihan anggaran pengadaan bus pemkot ke mobil muspida. Justru semakin kelihatan lucu karena apa yang disampaikan ketua LPM itu tak berdasar. Katanya DPA pengadaan bus sudah diubah provinsi. DPA pengadaan bus sudah diubah dan disetujui provinsi? Itu kan terlihat sekali mengada- ada,” tegas Cecep. Cecep mengatakan dia dan beberapa mantan anggota banggar sudah sepakat mengadakan konferensi pers jika wali kota masih ngotot mengatakan pengadaan bus untuk muspida sudah sesuai aturan. ”Supaya masyarakat tahu mana yang benar dan mana yang bohong. Saya akan tunjukkan bukti KUA PPAS APBD Perubahan 2014, mulai dari hasil pembahasan sampai diparipurnakan DPRD,” ujarnya blak-blakan. Dan yang tidak kalah pentingnya, menurut doktor hukum jebolan Unisba Bandung ini adalah hasil evaluasi Gubernur Jabar Ahmad Heryawan dengan surat tertanggal 16 Juli 2014 dengan No. 903/3459/Keu. Pada halalaman  21, kata Cecep, sangat jelas tidak ada perubahan. “Sehingga kalau dalam pelaksanaannya dari bus dialihkan ke mobil lain, jelas dilanggar oleh wali kota. Saya ingin buktikan apa yang saya sampaikan selama ini jelas dasarnya,” tandasnya. Sebelumnya, ada usulan agar kejaksaan memerika mantan banggar seperti Cecep dan Priatmo Adji. Adji sendiri juga mengatakan siap emberikan penjelasan perihal penganggaran mobdin yang dibahasnya selama menjadi banggar. Priatmo Adji menjelaskan, apa yang muncul di media perihal 4 unit mobdin muspida memang benar adanya. Banggar tidak merasa pernah membahasnya. Saat itu justru yang dibahas hanya pengadaan mobdin pimpinan dewan, mobdin wali kota dan wakil wali kota, serta pengadaan bus. Namun yang terjadi, sambungnya, justru pengadaan bus tidak jadi dan berubah menjadi pengadaan mobdin untuk muspida. Itu pun tidak pernah ada pemberitahuan ke banggar. “Asal jelas dan resmi, saya siap sesiap-siapnya,” tegasnya. Pria kelahiran Surabaya ini mengaku terus mengawal APBD Perubahan  2014 sampai selesai.  Adji memiliki tanggung jawab moral, khususnya sesama anggota DPRD periode 2009-2014 yang sama-sama menyusun APBD 2014 dan APBD Perubahan 2014. Terlebih lagi pengadaan mobdin muspida ini adalah produk APBD Perubahan 2014 yang mana dirinya masih menjabat sebagai anggota DPRD sebelum lengser 11 Agustus yang lalu. Adji sampai saat ini masih berkeyakinan dan muncul perasaan was-was terhadap APBD 2014. Di mana tahun 2014 adalah tahun peralihan yang berpotensi untuk menjadi malapetaka bagi anggota DPRD 2009-2014  dengan modus yang sama dengan APBD Gate 2004. Hanya saja, bedanya APBD Gate 2014 diubah bulan Juli-Agustus 2004, sedangkan APBD Perubahan 2014 diubah Agustus-September 2014. Berubahnya anggaran mobdin, kata politisi PDIP itu, jelas menunjukan eksekutif melakukan kesalahan prosedur. Kesalahaan itu, sambung Adji, meliputi nomenklatur berbeda antara bus dengan mobil pejabat dan mobil operasional. (abd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: