Polisi Rasis Mengundurkan Diri

Polisi Rasis Mengundurkan Diri

Tak Tahan Tekanan Publik AMERIKA - Tekanan publik memaksa Darren Wilson keluar dari kepolisian. Sabtu waktu setempat (29/11), polisi yang menembak mati Michael Brown itu mengumumkan pengunduran dirinya. Sejak 9 Agustus lalu, hari penembakan, dia nonaktif dari tugas-tugasnya sebagai aparat penegak hukum di Kepolisian Ferguson. Dalam suratnya, Wilson menyebut keamanan dan keselamatan warga Ferguson serta anggota kepolisian setempat sebagai alasan utama pengunduran dirinya. Dia tidak ingin keberadaannya di kepolisian akan membuat rakyat membenci polisi. \"Saya harap pengunduran diri saya ini akan menjadi awal pemulihan masyarakat,\" ujar pria 28 tahun tersebut seperti dilansir media Amerika Serikat (AS), kemarin (30/11). Senin lalu (24/11), grand jury Ferguson memutuskan untuk tidak menyidangkan kasus penembakan tersebut. Sebab, tidak ada cukup bukti yang kuat untuk menyeret Wilson ke pengadilan. Keputusan itu langsung memantik protes di Ferguson dan beberapa wilayah Negeri Paman Sam yang lain. Tapi, Gubernur Negara Bagian Missouri Jay Nixon menolak usul pembentukan grand jury baru. Pasca keputusan tersebut, isu rasis menyelimuti AS. Terutama, perlakuan rasis polisi kulit putih terhadap masyarakat kulit hitam atau Afro. Selama sepekan terakhir, unjuk rasa di depan kantor polisi marak. Sejumlah warga kulit hitam memprotes tindakan Wilson sekaligus keputusan grand jury Ferguson sambil mengusung spanduk dan poster. Pengunduran diri Wilson pun tidak mampu membendung kemarahan masyarakat. Hingga kemarin, beberapa kelompok masyarakat masih tetap berunjuk rasa. Apalagi, pekan lalu satu lagi polisi kulit putih melakukan kesalahan dengan menembak mati bocah 12 tahun yang membawa senjata mainan di Kota Cleveland, Cuyahoga County, Negara Bagian Ohio. Bocah bernama Tamir Rice itu pun berkulit hitam. \"Melanjutkan karir di kepolisian adalah harapan saya. Tapi, keamanan rekan-rekan saya sesama polisi dan masyarakat jauh lebih penting,\" papar Wilson. Dia berharap pengunduran dirinya mampu meredam kemarahan warga. Sejauh ini investigasi federal terhadap kasus penembakan Brown masih berjalan. Departemen Kehakiman akan menentukan ada tidaknya indikasi pelanggaran HAM dalam kasus tersebut. Sementara itu, seorang bocah kulit hitam di Kota Portland, Negara Bagian Oregon, sukses mencuri perhatian. Saat komunitas Afro di berbagai wilayah memprotes polisi terkait insiden Brown, dia justru menawarkan kehangatan. Mengusung tulisan Free Hugs, lelaki 12 tahun bernama Devonte Hart tersebut berdiri di depan kerumunan pengunjuk rasa. Seorang polisi kulit putih lantas mendekati Hart. Dia lalu meminta bocah itu memeluknya. Mereka kemudian berpelukan. Hart berurai air mata. Momentum itu tertangkap kamera jurnalis. Kemarin media menyebarluaskan peristiwa menyentuh tersebut. Dalam waktu singkat, Hart dan sang polisi, Sersan Bret Barnum, pun langsung menuai popularitas. \"Memahami apa yang dia rasakan saat berhadapan dengan polisi dan keberaniannya menatap mata saya, saya benar-benar tersentuh. Saya bersyukur bertemu dengan dia dan saya beruntung karena tidak menyia-nyiakan kesempatan itu,\" papar Barnum. Bagi Hart pun, aksi bapak dua anak itu membuat dirinya semakin percaya diri. Sebab, tidak ada ketakutan yang tak bisa dihadapi dengan hati terbuka. (ap/afp)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: