Hati-hati Menghukum Anak
//ok faz Ajak Bicara Kekerasan pada anak (child abuse), secara klinis diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental. Masalahnya, kekerasan ini seringkali terjadi secara tidak disengaja. Bahkan mungkin juga tidak disadari. MASALAH kekerasan dalam konteks ini tidak saja diartikan sebagai suatu tindakan yang mengakibatkan gangguan fisik dan mental, tapi juga mengakibatkan gangguan sosial. Karena kekerasan bukan saja dalam bentuk emosional. Psikolog, Herlina Dhewantara SPsi Psikolog mengatakan, banyak bentuk sanksi yang bisa menjadi pilihan. Penerapannya, lebih pada kesepakatan yang dibuat antara anak dan orang tua. Kemudian, diberlakukan juga punishment dan reward. “Sewaktu-waktu perlu keras untuk menunjukkan sikap tegas. Tapi jangan lupa, kalau anak berbuat baik, taat pada komitmen yang dibuatnya, tidak ada salahnya memberikan pujian,” ujar dia, saat ditemui di kediamannya. Sebelum memberikan sanksi yang biasanya ujung-ujungnya adalah kekerasan pada anak, kata dia, sebaiknya orang tua melihat kembali aturan-aturan dalam rumah, termasuk di sekolah. Ada baiknya dalam pembuatan aturan ini anak diajak bicara dan merumuskan bersama. Aturan yang dibuat bersama ini akan lebih baik, ketimbang dibuat sepihak. “Ini juga latihan bagi anak untuk belajar mengemukakan pendapat. Perlakuan secara fisik sebaiknya dihindari,” katanya. Menurut Herlina, anak-anak biasanya memiliki pola meniru. Orang tua yang melakukan kekerasan fisik, bisa jadi saat masa kanak-kanaknya juga mengalami hal serupa yang kemudian menerapkan pada anaknya. Tapi, ada juga yang belajar dari hal tersebut dan tidak menerapkan pada anak-anaknya. Di lingkungan sekolah, sebaiknya juga dihindari adanya perlakuan hukuman fisik. “Boleh menjewer, tetapi pelan-pelan saja. Sebab memori tersimpan sampai puluhan tahun ke depan,” tuturnya. Pemerhati Anak, dr Kartini Suhardi mengungkapkan, persoalan kekerasan kepada anak-anak ini menunjukkan Kota Cirebon belum ramah anak. Menurutnya, sudah berulangkali disampaikan konsep keluarga ramah anak, lingkungan ramah anak, dan kota ramah anak, kepada sejumlah pemangku kepentingan termasuk Dinas Pendidikan dan DPRD. Sayangnya, program yang diusulkan ini kurang mendapatkan respons yang positif. Padahal, kekerasan yang tejadi pada anak-anak dapat menyebabkan trauma. Trauma ini memang penyebabnya bermacam-macam, tetapi segala sesuatunya bermula dari keluarga dan masyarakat. Terpisah, Kepala SMA Putra Nirmala, Dra Yustina Eka Siwi menjelaskan, di lingkungan akademis seperti sekolah, kekerasan pada anak tidak dibenarkan. Jangankan untuk melakukan tindakan kekerasan fisik, kekerasan yang bersifat verbal juga tidak dibenarkan. “Zaman sekarang, pola pendidikan itu sudah berubah. Sekarang, siswa dan guru harus dekat layaknya sahabat. Mereka harus saling membantu dengan tulus agar siswa berkembang ke arah yang lebih positif,” ujarnya. Yustina menambahkan, yang namanya kekerasan pada anak, tidak boleh dilakukan oleh siapa pun dan di mana pun. Baik itu di sekolah, di rumah ataupun di tempat lainnya. Agar tidak terjadi tindakan kekerasan di sekolah, harus dilakukan upaya preventif. Seperti sosialisasi intensif tentang bullying (intimidasi), hingga penayangan rutin film contoh-contoh tindakan bullying. “Maksudnya di sini agar siswa mengetahui kalau bullying adalah tindakan yang tidak baik. Biasanya, pihak sekolah kami juga selalu melakukan pemantauan area sekolah yang dinilai rawan terjadi bullying. Komunikasi antara guru dan siswa juga sering dievaluasi guna mencegah tindakan bullying itu,” paparnya. Bila ada indikasi bullying atau kekerasan fisik terjadi di lingkungan sekolah, Yustina mengaku akan melakukan pendekatan persuasif. Selama ini, pihak sekolah melakukan pembinaan dan teguran bila ada tindakan atau perilaku guru atau siswa yang terindikasi bullying. “Puji Tuhan sejauh ini tindakan preventif kita efektif. Sehingga belum pernah sampai ada tindakan tegas dari sekolah. Murid-murid itu kalau dicintai dengan tulus, maka mereka menjadi sangat baik dan mengerti lebih dari yang diharapkan,” tuturnya. Menurut Yustina, hal lain yang sangat berperan untuk mencegah tindakan bullying adalah pendidikan karakter atau character building. Di mana nilai-nilai budi pekerti yang luhur ditanamkan pada diri siswa. Sehingga, siswa bisa meminimalisasi tindakan kekerasan pada rekan-rekannya. Sementara, Ketua Harian Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), drg Siska, menjelaskan banyak faktor yang membuat tindak kekerasan pada anak bisa terjadi di lingkungan keluarga. Misalnya saja faktor ekonomi, ketidakharmonisan keluarga dan beban kerja orang tua. Bila tindakan kekerasan dalam lingkungan keluarga sering terjadi, maka anak yang akan menjadi korban. Padahal, kata dia, orang tua memiliki peran penting dalam perkembangan perilaku anak. Karena itu hendaknya, orangtua harus berusaha meningkatkan pengetahuan agama anak dan menjadi teladan bagi anak-anaknya. “Karena anak biasanya suka meniru apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Selain itu, sebagai orang tua juga harus meluangkan waktunya untuk mendampingi anak-anak agar tercipta komunikasi yang efektif dan saling pengertian,” ujarnya saat ditemui di Puskesmas Larangan, kemarin. Kemudian, kata kepala Puskesmas Larangan ini, orang tua harus mengawasi film yang ditonton. Dan situs yang diakses oleh anak dari internet. Sebagai upaya meminimalisasi dampak negatif dari hal yang dilihat anak. “Di sini orang tua harus meningkatkan pengawasan pada anak. Orang tua, keluarga dan guru harus mengawasi media informasi dan media komunikasi yang digunakan oleh anak. Kalau ada apa-apa, orangtua dan anak juga bisa lapor dan berkonsultasi ke kader Wadul Bae, puskesmas terdekat dan P2TP2A,” jelasnya. Siska menambahkan, pemerintah kota juga sudah berkomitmen untuk menjadikan kota Cirebon sebagai kota layak anak. Dengan menjadikan kelurahan Kecapi sebagai kelurahan uji coba. (yuda sanjaya/ida ayu komang)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: