Temukan 22,5 Kg Genter Katilayu

Temukan 22,5 Kg Genter Katilayu

Setengah bulan yang lalu, tepat hari Rabu sekitar pukul 23.00 WIB, menjadi malam tak terlupakan bagi Wasil (36). Pria yang juga ketua RT 3 Kampung Lebakngok, Argasunya, Kota Cirebon itu, menemukan bongkahan batu genter katilayu seberat 22,5 kg. Penemuan jenis batu akik khas Cirebon tersebut, membuat heboh warga. Pasalnya, fosil kayu dari pohon kilayu ini, banyak diburu para kolektor akik, karena diyakini memiliki daya magis luar biasa. DAERAH aliran sungai dan tebing di daerah Lebakngok menjadi satu-satunya tambang penghasil batu akik katilayu. Batu yang berasal dari fosil pohon kilayu yang sudah meng­kristal menjadi batu. Pohon kilayu sendiri tumbuh su­bur di kawasan hutan di daerah Argasunya. Pohon kilayu me­miliki buah manis berwarna merah, dan kayunya hanya digu­nakan sebagai kayu bakar. Warga yang tinggal di sekitar itu, tak ingin menyia-nyiakan hasil tambang batu yang terbentuk ratusan tahun ini. Mereka pun banyak yang mulai berburu, terutama setelah heboh fenomena batu akik akhir-akhir ini. Salah satunya Wasil, pria 36 tahun yang sehari-hari bertani. Wasil mengaku tak memfokuskan diri untuk mencari batu katilayu. Namun, saat malam tiba untuk mengisi waktu luang, dirinya bersama teman kerap kali mencari fosil kilayu di hutan dan kebun-kebun milik warga, yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. “Tadinya tidak sengaja, main-main saja ke kebun daripada tidur sore-sore,” kata Wasil. Dengan peralatan sederhana, seperti cangkul dan golok. Ia mulai menggali dan menemukan pecahan-pecahan fosil kilayu. Dari sana ia terus menggali sampai mendapatkan satu bongkahan cukup besar dengan berat 2 kg. Penasaran ia pun kembali menelusuri galian itu hingga sedalam 40 cm. Tak dinyana, ia pun mendapatkan benda keras. Setelah dilihat, benda itu ternyata bongkahan fosil genter kilayu yang cukup besar, seberat 22,5 kg. “Tadinya nyari dua orang, tapi ada dua orang lagi yang ikut bantu. Saya angkat bongkahan itu sama empat orang, saat itu tepat jam 11 malam,” ujarnya. Penemuannnya yang berlokasi di lapisan tanah dangkal itu, termasuk cukup aneh. Karena biasanya para penambang batu, menggali sampai lapisan tanah lempung. Lapisan tanah basah yang biasanya tersimpan cadangan air. Selain itu, para penambang juga biasanya harus menambang sampai kedalaman 10 meter untuk mendapatkannya. Kontur tanah di daerah Argasunya memang berbukit-bukit. Mereka biasanya menggali di tebing-tebing bukit-bukit yang berada di sekitar sungai. Tanah lempung sendiri berada di lapisan ketiga berada di atas dasar tanah, lapisan cadas, dan tanah lempung. Dari tanah lempung itu, selain menemukan fosil kilayu. Para penambang juga menemukan sumber mata air. Airnya dialirkan ke rumah-rumah dengan paralon. Dikatakan Wasil, hasil pencarian pada malam itu. Ia mendapatkan satu bongkahan genter katilayu seberat 22,5 kg yang berbentuk menyerupai jok motor, satu bongkah genter seberat 2 kg, dan satu karung potongan-potongan kecil katilayu yang dikumpulkan. “Saya percaya bongkahan yang dua kilo itu merupakan pecahan dari 22 kilo, karena setelah disambungkan ter­nyata nyambung,” kata dia. Semen­tara itu, satu karung potongan-potongan kilayu ia bagikan kepada warga lain yang meminta. Saat ini dirinya masih menyimpan bongkahan itu, diakuinya, sempat ada yang menawar bongkahan itu sebesar Rp5-7 juta. Namun dirinya memasang mahar untuk bongkahan itu sebesar Rp13 juta. Kalau dibagi, berarti harga satu kilo Rp600 ribu. Batu genter katilayu yang ditemukan Wasil, terbilang sudah mengkristal. Buktinya setelah disinari cahaya senter, lapisannya tembus cahaya. Sehingga ia berani mematok harga yang lebih tinggi dari itu. “Ini bagian sisinya sudah tembus apalagi di bagian tengah,” tukasnya. Genter atau getah katilayu dipercaya batu akik yang cukup jarang ditemukan. Fosil katilayu yang kerap dijadikan akik yakni dari bahan batang pohon, akar hingga getahnya. Ciri-ciri genter katilayu memiliki warna cokelat kemerah-merahan. “Sampai saat ini belum ada penawaran yang maksimal, kalau ada mahar Rp13 juta aja sudah saya berikan,” ucap dia. Dari 22,5 kilo bongkahan fosil katilayu ini, dia memprediksi bisa dijadikan sekitar 1.500 batu akik dengan ukuran standar. Sebab menurut para pengukir batu, dari satu kilo bongkahan katilayu yang bagus bahannya itu bisa dibuat sekitar 80 batu akik. Sedangkan dari bahan yang jelek paling hanya 70 akik saja. “Maharnya sudah segitu, karena saya juga harus membagi-bagi lagi hasilnya dengan pemilik kebun, dan juga empat orang teman yang membantu pencarian,” ungkap Wasil. Sementara itu, menurut Mohammad Amin, tokoh masyarakat setempat, mengatakan fosil katilayu sendiri banyak ditemukan di daerah sungai. Namun setelah di sungai habis, para penambang mulai menemukan denah sumber fosil katilayu sendiri. Ia mengatakan, apabila digali lebih jauh, potensi sumber batu akik di daerah seputar Lebak Ngok hingga Jati Pranje dipenuhi oleh macam-macam batu akik. Ada fosil seperti ati ayam, lidah ayam, usus ayam, am­pela ayam, dan ada pula yang mene­mukan batu sejenis pyrus dan am­paran. Ada pula fosil-fosil hewan laut seperti udang, kura-kura, kijing, bung­kur dan ikan laut. Bahkan ada­­pula ke­pala kerbau. “Itu ada yang yang ne­mu, cuma jarang, ka­rena gak ada yang gali, jadi be­lum ketemu saja,” ulasnya. Dikatakan Amin, saat ini memang orang belum tahu mengenai batu katilayu. Fosil katilayu kalah pamor dengan batu jenis calcedony, seperti raflesia bengkulu atau solar yang tembus cahaya. Padahal fosil katilayu sendiri kalau yang benar-benar sudah jadi ada pula yang bisa tembus bila terkena cahaya. Selain itu, ada pula jenis fosil katilayu yang beragam warna, yakni hijau, kuning, hitam, merah kecokelatan hingga putih. “Bergantung dari bagian mana dapatnya, kalau yang sudah sampai ke dalam itu bisa ada yang warnanya hitam,” ungkapnya. Namun yang paling banyak ditemukan berwarna kuning dan cokelat. (jml)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: