Ketika Lahan dan Petani Terus Berkurang

Ketika Lahan dan Petani Terus Berkurang

Tak terbayang jadinya, jika jumlah lahan dan petani terus berkurang. Konsekuensinya, bahan pangan banyak yang diimpor. Kasus beras yang dibuat dari bahan pipa (plastik) seperti yang diimpor dari Tiongkok pun akan semarak dan bisa jadi bertambah jenisnya (bukan hanya beras, karena bangsa lain tidak peduli dengan kesehatan penduduk negeri ini). Yang lebih tragis, kelangkaan bahan pangan kelak terjadi seperti seringnya terjadi pada kelangkaan BBM (karena sudah menjadi barang impor), bahaya kelaparan pun mengancam setiap saat. Terjadilah hal yang sangat berbahaya (bahaya laten), kerawanan sosial. RENTETAN kekacauan ini bisa terjadi manakala pemerintah tidak memperhatikannya dengan seksama. Indonesia dengan tanahnya yang subur adalah lahan yang manjur untuk bertani. Anugerah ini mestinya jangan sampai dilupakan dan diabaikan. Sebenarnya, menjadi petani, di negeri yang seringnya lupa diri ini adalah pilihan terbaik dari yang terbaik. Menjadi petani mestinya cita-cita idola para generasi muda dan kebanggaan para orang tua. Sayang, keadaannya sudah semakin mengkhawatirkan, seperti yang diungkapkan Kepala BPS, Suryamin. Beliau menjelaskan: survei yang dilakukan untuk periode sepuluh tahun terahir menginformasikan bahwa jumlah rumah tangga dengan usaha pertanian terus menurun akibat beberapa hal. Di antaranya alih profesi dan semakin sempitnya lahan pertanian, karena alih fungsi lahan untuk pembangunan infrastruktur, pembangunan pabrik dan perumahan. Misalnya, dari 14,2 juta rumah tangga yang menanam padi, turun menjadi 14,1 juta. Usaha tanaman kedelai menurun dari satu 1 juta menjadi 700 ribu. Untuk usaha tanaman jagung juga terjadi penurunan, dari sejumlah 6,4 juta menjadi menjadi 5,1 juta. Penurunan juga terjadi untuk jumlah rumah tangga usaha peternakan dan perikanan. Selain itu, yang juga memprihatinkan adalah pendapatan keluarga petani yang sangat memilukan. Dalam sektor pertanian (ada enam subsektor: padi, palawija, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan dengan pendapatan per tahunnya Rp3,57 juta dari buruh di luar pertanian. Jadi petani yang juga bekerja sebagai buruh di luar pertanian rata-rata pendapatannya Rp3,27 juta per tahun per rumah tangga. Dan yang terkecil dari buruh pertanian, pendapatannya itu Rp1,82 juta per tahun per rumah tangga. BPS juga mencatat penurunan jumlah rumah tangga dengan usaha sektor pertanian terbanyak terjadi di Pulau Jawa, disusul Sumatera dan Kalimantan. Nah, menanggapi kondisi banyaknya petani yang beralih profesi adalah disebabkan karena pemerintah tidak mendukung penuh usaha di bidang pertanian. Petani kita itu, seringnya harus berusaha sendiri mulai dari pencarian lahan, kesulitan dalam pengadaan pupuk, menghadapi kemungkinan gagal panen hingga penjualan hasil panen yang seringnya hanya menguntungkan para pemodal (tengkulak kecil dan besar). Hal ini, tentu membuat petani semakin frustrasi. Perilaku pemerintah pun dirasakan sedari dahulu hingga kini ‘doyannya’ tidak mau berpikir sulit (komitmen mengentaskan masalah petani) dan tidak berpihak pada petani sehingga impor berbagai kebutuhan pangan sebagai solusi dalam mengatasi kekurangan bahan pangan. Jika kondisi ini terus menerus dibiarkan, target swasembada pangan di Indonesia akan ‘gatot’ alias gagal total. MASIH BERHARAP PADA PEMERINTAH Perlu dipahami bersama, memang karakteristik pertanian di Indonesia itu lahannya terbatas. Kemudian jumlah petaninya ‘banyak’ (artinya kepemilikan lahannya kurang ideal bila disandingkan dengan jumlah lahan, diratakan hanya sekira ¼ ha/per petani). Namun demikian, semestinya pemerintah tidak lepas tangan dan putus-asa, dengan mengambil jalan yang lebih gampang dan lebih menguntungkan (sesaat dan bagi kroni-kroninya saja). Yakni membuka impor daripada harus mendukung petani kecil yang jumlahnya banyak dan dirasa terlalu sulit untuk diatur, tidak visible, tidak ekonomis dan seterusnya. Dengan keadaan seperti ini, pemerintah dengan kewenangannya, semestinya menjaga lahan yang sudah ada dan kemudian menambah lahan di luar yang sudah tersedia. Khusus bagi pengembangan perumahan dan pabrik-pabrik. jangan sampai mengambil-alih lahan pertanian yang sudah baku dan biasanya subur-subur (daerah aliran irigasi). Kita sangat prihatin, karena pemandangan ini sering kita jumpai, baik di kota kecil terlebih kota besar. Lucu dan aneh, misalnya saluran irigasi yang dibuat sedemikian rupa pada ahirnya tidak digunakan untuk mengairi sawah, tetapi malah digunakan untuk air baku PDAM dan seterusnya. Kemudian, tata ruang dan wilayah seyogyannya diatur sedemikian rupa, sehingga tidak mengganggu lahan-lahan pertanian dan calon-calon lahan pengembangannya. Dan, untuk lahan pertanian ini memang jangan hanya sekadar asal (seperti kasus sejuta hektare di Kalimantan yang kurang berhasil). Tetapi memang harus melalui penelitian yang serius, kontinu serta melibatkan stakeholder yang ada terutama petani dan calon petaninya. Walhasil, mudah-mudahan ini bisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah, sehingga target swasembada pangan yang sebenarnya merupakan awal dan jalan menuju kemandirian sebuah bangsa dapat terwujud. Semoga?! (*) *) Penulis tinggal di Indramayu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: