MUI-JAI Tarik-Menarik

MUI-JAI Tarik-Menarik

Bupati Kirim Surat ke Pemerintah Pusat KUNINGAN – Tidak dicetaknya KTP bagi warga JAI (Jamaah Ahmadiyah Indonesia) rupanya disebabkan adanya tarik-menarik antara MUI dengan warga JAI itu sendiri. MUI menginginkan agar warga JAI keluar dari keyakinannya, sedangkan JAI merasa mereka sudah beragama Islam. Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kuningan, Drs H KMS Zulkifli MSi menunjukkan lembaran kertas surat pernyataan antara versi MUI dan versi JAI. Ada perbedaan prinsip dari surat pernyataan yang seharusnya diteken oleh warga JAI di Desa Manis Lor Kecamatan Jalaksana. “Kalau versi MUI, di sini warga JAI harus menyatakan keluar dari JAI terlebih dulu sebelum membaca dua kalimah syahadat. Sedangkan surat pernyataan versi JAI, di situ mereka sudah mengaku beragama Islam dan dibuktikan dengan kesiapan untuk membaca dua kalimah syahadat jika masih diragukan keislamannya,” jelasnya saat ditemui Radar di ruang kerjanya, kemarin (7/7). Dalam masalah ini, muncul perbedaan pandangan terhadap aqidah dan dokumen kependudukan. Satu pihak ada yang memisahkan dengan alasan urusan aqidah antara individu tersebut dengan Sang Khaliqnya. Sedangkan satu pandangan lagi, ada keterkaitan antara aqidah dengan dokumen kependudukan. “Masalah ini perlu dikomunikasikan. Sejak dulu kami sudah mencoba menjembatani supaya ada titik temu yang terbaik untuk kemaslahatan semua dalam mewujudkan Kuningan MAS. Namun ternyata tidak ada titik temu dengan keinginan masing-masing antara MUI dan JAI. Untuk membubuhkan kepercayaan pada kolom agamanya pun, warga JAI tidak mau,” ungkapnya. Sebetulnya, dia selaku pejabat yang mengurusi dokumen kependudukan tidak mau berlama-lama. Sebab dengan tidak dicetaknya KTP lebih dari 14 hari, sudah termasuk pelanggaran aturan. Namun karena tidak ada titik temu, maka bupati melayangkan surat ke pemerintah pusat. “Suratnya sudah dilayangkan Januari lalu. Tapi sampai sekarang belum ada petunjuk dari atas (pemerintah pusat, red). Kami pun tidak bisa mengeluarkan keputusan sendiri sebelum ada keputusan dari pusat. Sampai sekarang kita masih menunggu jawaban,” kata Zul. Berdasarkan keterangan yang diperolehnya, warga JAI di luar Kuningan masih bisa mendapatkan KTP dengan bubuhan Islam pada kolom agama. Mungkin karena di Kuningan terdapat basis Ahmadiyah, maka pemerintah pusat menundanya. Ditanya kenapa seluruh warga Manis Lor tidak bisa memeroleh KTP, dia mengatakan, dulu itu memang pusat belum mencetak untuk keseluruhan. Namun untuk sekarang ini kewenangan mencetak berada di daerah. Saat ini proses pencetakan KTP berupa KTP elektronik (KTP-el) bagi warga muslim di Manis Lor tengah dilangsungkan. “Total, wajib KTP di Manis Lor itu sebanyak 4.000-an jiwa. Untuk warga JAI sebanyak 2.772 jiwa, selebihnya warga non-Ahmadiyah. Untuk warga non-Ahmadiyah di Manis Lor ini, masih dalam proses pencetakan. Sedangkan bagi warga Ahmadiyah masih menunggu jawaban dari pusat,” tukasnya. Terpisah, Sekretaris Gerakan Anti Maksiat (Gamas) Kuningan, Nanang Subarnas SHut merasa heran atas sanggahan sekretaris Pekat IB, Nana Mulyana Latif terhadap pernyataan HMK (Harokatul Muslim Kuningan). Pihaknya menilai, Nana seperti sedang mengigau di siang bolong. Sebab, sanggahan tersebut dianggapnya tidak tepat sasaran. “Terus terang kami jadi tertarik untuk mengklarifikasi, baik pernyataan HMK, maupun sanggahan dari Pekat IB mengenai hak warga muslim Desa Manis Lor untuk memeroleh KTP dari pemerintah. Kami yakin Ormas Islam Kuningan pasti satu kata, sepakat bahwa JAI adalah bukan Islam, sehingga ketika mereka menghendaki untuk dibuatkan KTP, kami menuntut pemerintah jangan sekali-kali mencantumkan Islam dalam kolom agama mereka,” ucap Nanang. Menurut dia, kedua ormas yang berargumentasi di media tersebut semuanya satu jalur dan satu pemahaman. Namun entah kenapa, tiba-tiba Nana Mulyana Latif menuding HMK memutarbalikkan fakta dan mengecap ormas sempalan biang konflik. Padahal, menyangkut KTP warga muslim di Manis Lor, antara HMK dan Pekat IB, itu seirama. “Kami kira dia baru bangun tidur, lantas baca berita hanya judulnya saja dan langsung berkomentar,“ sindir Nanang. Sebagai aktivis ormas yang sering berargumentasi di media, Nanang menyarankan agar mengedepankan kehati-hatian dalam mengungkapkan pendapat. Apalagi jika menyangkut permasalahan hukum dan SARA. Kemudian, pemahaman permasalahan harus benar-benar matang, jangan hanya tahu sedikit lantas menuding-nuding pihak lain. “Sebenarnya, permasalahannya sudah jelas, dari inti argumentasi HMK dan Pekat IB, keduanya satu kata, yakni pemerintah jangan persulit pembuatan KTP warga muslim Manis Lor, jangan menyamaratakan mereka sebagaimana warga JAI di sana. Kadisdukcapil jangan hanya bungkam melihat masalah ini, berilah penjelasan kenapa warga muslim Desa Manis Lor jadi ikut-ikutan mendapat jatah penundaan,” tandasnya. (ded)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: