Aparat Masih “Suka” Kekerasan

Aparat Masih “Suka” Kekerasan

JAKARTA - Predikat aparat suka semena-mena terhadap tahanan tampaknya masih melekat. Buktinya, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat atau Elsam mencatat masih banyak pola kekerasan berupa penyiksaan dan perbuatan kejam yang dilakukan penegak hukum. Terhitung sejak Januari hingga April, ada 22 kekerasan yang dilakukan oleh mereka. Koordinator Pemantauan Kebijakan Elsam, Wahyudi Zhafar merinci kekerasan pada Januari terjadi empat kasus, Februari ada enam, Maret lima kasus dan April mencapai tujuh kasus. Secara spesifik, Wahyudi menyebut dua belas dari total kasus dilakukan oleh polisi. “Masih didominasi oleh Polisi kekerasan itu,” ujarnya di Jakarta kemarin. Setelah itu, kekerasaan biasanya dilakukan oleh petugas pemasyarakatan sendiri. Saat ini, Wahyudi menyebut tidak lagi zamannya para tahanan saling berbuat kekerasan. Sebab, angkanya bisa disebut sangat kecil yakni empat kasus saja. Untuk satu kasus lainnya, dia menyebut itu sempat dilakukan oleh petugas imigrasi. Akibatnya jelas, kekerasan itu berujung pada hilangnya nyawa para tahanan. Berdasar data yang dimilikinya, 10 tahanan harus meregang nyawa setelah menerima perilaku kekerasan tersebut. Sedangkan jumlah yang mengalami luka-luka menembus angka 20 tahanan dalam empat bulan. “Tentu saja, itu hanya sebagian kecil yang terungkap,” imbuhnya. Wahyudi lantas menyebut di mana saja para penegak hukum yang suka menjadikan tahanan sebagai sansak hidup. Yakni, Bali, NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Sumatera Utara, Maluku, Sulawesi Barat, Lampung, Jakarta, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Maluku Utara dan Sulawesi Selatan. Hampir rata memang di Indonesia, tapi itulah faktanya. Dia menyayangkan para aparat yang suka menggunakan cara kekerasan untuk mengorek informasi. Bagi Elsam, kekerasan demi mendapat keterangan dari tahanan adalah cara purba. “Sayangnya tidak ada payung hukum yang kuat untuk menjerat pelaku kekerasan,” katanya. Banyaknya aksi kekerasan, seakan memberi bukti bahwa polisi dan petugas pemasyarakatan menutup diri terhadap teknologi. Versinya, sudah banyak teknologi yang bisa digunakan untuk membuktikan benar tidaknya kesaksian. Termasuk mengungkap kejahatan yang telah dilakukan para tahanan. “Kebanyakan, kekerasan itu terjadi saat intogerasi,” jelasnya. Di samping itu, Polri sebagai institusi juga terkesan member “restu” terhadap aksi kekerasan itu. Buktinya, pada kasus tewasnya tahanan kasus pencurian sepeda motor, Erik Alamsyah, 21, di Polsek Bukit Tinggi 20 Maret lalu juga tidak menyeret satu nama petugas pun. Padahal jelas, dari jenazah Erik ada banyak luka lebam. (dim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: