Jajang Agus Sonjaya, Desain Masjid Bambu Terbesar di Malaysia

Jajang Agus Sonjaya, Desain Masjid Bambu Terbesar di Malaysia

Masjid bambu yang dibangun Jajang Agus Sonjaya di Perak, diperkirakan bisa awet sampai 70 tahun. Jajang menyayangkan masih melekatnya stigma di tanah air bahwa rumah bambu adalah rumah orang miskin. Laporan: AGUS DWI PRASETYO, Jogjakarta TIAP hari ada saja orang yang mampir untuk berfoto ria. Atau sekadar mengagumi. Sejumlah media Malaysia, baik cetak, elektronik, maupun online, juga ramai memberitakannya. Padahal, sampai pertengahan Juli lalu, masjid di Kuala Kangsar, Perak, Malaysia, yang dijadikan latar belakang selfie dan jadi sorotan media itu baru berupa struktur rangka dan atap. ’’Mereka terkagum-kagum melihat bangunan masjid yang sangat besar dari bambu-bambu bulat berdiameter besar,’’ kata Jajang Agus Sonjaya. Jajang dan perusahaan miliknya, Bambubos, berada di balik masjid bambu yang konon terbesar di Malaysia itu. Jam terbang pemilik Sahabat Bambu dan Bambubos tersebut dalam budi daya dan pemanfaatan bambu sejak 2003 membuatnya mendapat kepercayaan tersebut. Ketertarikan Jajang pada bambu seiring sejalan dengan ketertarikannya pada sejarah. ’’Kenangan tentang rumah-rumah masa lampau yang berkonstruksi bambu terus melekat dalam kenangan saya,’’ katanya. Sebelum terlibat pembangunan masjid di Perak itu, Bambubos dan para tukangnya sering diundang ke Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara lain. Baik untuk memfasilitasi pelatihan maupun membangun konstruksi bambu. Mulai rumah tinggal, jembatan, hingga tugu jam. Pada 2010, misalnya, Bambubos membangun jembatan bentang 24 meter tanpa tiang tengah di Davao, Filipina. Untuk masjid di Perak itu, tahap selanjutnya kini adalah mempercantik interior. ’’Saat ini masih tahap desain,’’ kata Jajang. *** Kisah kiprah Jajang di masjid seluas 620 meter persegi dengan tinggi 10,24 meter itu berawal dari rasa penasaran. Seorang kontraktor berpengalaman Malaysia, Ahmad Mazlan bin Othman, tergerak setelah mendengar cerita kenalannya, Dato Ghazy, tentang bangunan berkonstruksi bambu di Indonesia. Dia kemudian berselancar di dunia maya untuk mencari tahu lebih dalam soal bambu dan teknik konstruksinya. Pencariannya itu membawanya ke Jogjakarta, Bali, Banten, dan Bogor. Satu per satu perusahaan dan industri bambu didatanginya. Termasuk Sahabat Bambu dan Bambubos milik Jajang. Mazlan mempelajari banyak hal, mulai pembibitan, pengawetan, furnitur, hingga konstruksi. Keinginannya yang sangat kuat mengembangkan bambu di Malaysia mendorongnya untuk mendirikan perusahaan Bamboo Jungle Adventure. Mazlan lantas mengundang ahli-ahli bambu dari Indonesia secara bergiliran. Di antaranya, John Hardy, Djatnika, Indra Setiadharma, Widhi Nugroho, dan Jajang. Sahabat Bambu dan Bambubos milik Jajang juga dipercaya memfasilitasi pelatihan para tukang di Malaysia yang turut disokong pemerintah setempat. ’’Selama 2013–2014 Bamboo Jungle Adventure menyelenggarakan pelatihan bambu secara bertahap,’’ ungkap alumnus Universitas Gadjah Mada itu. Indonesia, menurut Jajang, 20 tahun lebih dulu mengembangkan bambu secara profesional jika dibandingkan dengan Malaysia. Jenis dan jumlah buluh (sebutan bambu dalam bahasa Melayu, red) di negara tetangga tersebut juga jauh lebih sedikit. Di negara itu pun belum tersedia tukang-tukang bambu profesional. Baru lima tahun terakhir beberapa pengusaha serta arsitek Malaysia bersemangat belajar dan mengembangkan bambu. Ketika kemudian Yayasan Islamic Green Village (semacam pondok pesantren) di Kuala Kangsar, Perak, bermaksud mendirikan masjid dengan konstruksi dari bambu, Bambubos bekerja sama dengan Bambu Jungle Adventure. Studio WNA dari Bali pun dipercaya menangani. Mazlan-lah yang menjembatani tawaran tersebut. *** Tahap pembangunan masjid di Perak itu dimulai pada 26 Mei. Sebanyak tujuh tukang bambu, seorang arsitek junior, dan seorang pengawas asal Jogjakarta dikirim ke Malaysia. Semua material bambu dikirim secara bertahap dari Jogjakarta. Maklum, karena ketersediaan tidak sebanyak Indonesia, harga buluh di Malaysia sangat tinggi. Harga bambu petung berukuran 6 meter, misalnya, mencapai 110 ringgit atau sekitar Rp420 ribu. Padahal, itu belum diawetkan. Sedangkan petung dari Indonesia untuk ukuran yang sama, harganya hanya 60 ringgit Malaysia (RM) dan sudah diawetkan. ’’Bahkan, jika ditambah ongkos kirim, masih tetap murah bambu dari Indonesia,’’ sahut Jajang. Total bambu yang dikirim dari Jogjakarta mencapai tiga kontainer berukuran sekitar 12 meter. Secara keseluruhan, Islamic Green Village mengeluarkan biaya RM 800 ribu atau Rp2,6 miliar untuk pembangunan masjid tersebut. ’’Biayanya bisa separo lebih murah dari konstruksi konvensional,’’ terang suami Nurul Jannati itu. Menurut Jajang, ada beberapa jenis bambu yang digunakan sebagai komponen masjid. Rangka utama, misalnya, menggunakan bambu petung dengan ketebalan dinding batang 11–36 milimeter. Adapun untuk bahan usuk dan interior, yang dipakai adalah bambu apus yang memiliki warna dominan kuning berkilap. ’’Kami juga menggunakan bambu wulung agar interior dan atap masjid tampak eksotis,’’ papar pengusaha yang juga dosen di Instiper Jogjakarta tersebut. Bukan hanya itu. Masjid tersebut juga menggunakan bambu gombong sebagai material utama plafon. Bambu tersebut disulap menjadi pelupuh atau galar dalam pengaplikasiannya. Ada pula bambu duri (pring ori) yang dibikin menjadi bamboo bone untuk railing (pagar kecemasan dalam bahasa Melayu). ’’Untuk lantainya, kami menyarankan menggunakan parket (ubin) bambu,’’ jelasnya sambil menunjukkan parket bambu yang dimaksud. Meski menggunakan bambu sebagai komponen utama, pembangunan konstruksi masjid tetap membutuhkan cor-coran beton untuk lapisan lantai dan umpak rangka utama. Cara itu umum digunakan agar konstruksi bambu menjadi kuat. ’’Setelah itu, tiang bambu baru ditancapkan (di cor-coran, red),’’ ucap pria yang gemar bersepeda dan menulis tersebut. Jajang menyatakan, bambu-bambu tersebut harus diawetkan lebih dulu sebelum digunakan sebagai bahan konstruksi. Caranya, karbohidrat dikeluarkan dari bambu melalui tekanan atau perebusan. Lalu, larutan boron dimasukkan dengan konsentrasi tertentu. Selain boron, bahan pengawet yang lebih ramah lingkungan sering dipilih para klien. Misalnya, asap cair dan air laut. Dengan pengawet itu, kumbang bubuk tidak akan doyan. ’’Kami siap dimusuhi kumbang bubuk, hahaha,’’ ujar Jajang. Secara umum, pengawetan tersebut bertujuan untuk mematikan kumbang bubuk yang tumbuh di dalam batang bambu. ’’Dengan pengawetan seperti itu, bambu akan kuat seperti baja dan bisa awet sampai 70 tahun,’’ bebernya. Bila dirawat dengan baik, Jajang menjamin proyek masjid bambu pertamanya itu akan memiliki nilai plus jika dibandingkan dengan konstruksi konvensional seperti kayu dan semen. Dari sisi estetika, masjid bambu terlihat lebih cantik dan eksotis. (*/c5/ttg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: