Tumiso, Eks Tapol Penyelamat Naskah Karya Pramoedya (3); Awal Pengasingan Pram Tidak Bisa Menulis

Tumiso, Eks Tapol Penyelamat Naskah Karya Pramoedya (3); Awal Pengasingan Pram Tidak Bisa Menulis

Penggemar karya-karya Pramoedya Ananta Toer layak berterima kasih kepada Tumiso. Tanpa dia, dunia sastra Indonesia belum tentu bisa menikmati novel-novel masterpiece Pram di Pulau Buru. PERTEMUAN Tumiso dengan Pram di Pulau Buru bukan pertemuan kali pertama. Keduanya dipertemukan oleh kesamaan ideologi sebagai pendukung garis politik Soekarno yang menolak Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imprealisme). Kongres serikat pekerja film berhaluan kiri, Sarbufi (Sarikat Buruh Film Indonesia), pada 1962 di Surabaya-lah yang mempertemukan keduanya. Sebagai mahasiswa, Tumiso menerjunkan diri ke Resimen Mahasurya. Kelompok mahasiswa semimiliter itu sewaktu-waktu diturunkan untuk mendukung garis politik Soekarno. Sialnya, saat rezim berganti, Resimen Mahasurya ikut terdampak. “Saya ditangkap tentara yang melatih saya pada 1965,” jelasnya. Sempat ditawan di Rumah Tahanan Militer Koblen Surabaya dan Pulau Nusakambangan selama empat tahun, Tumiso dipindah ke Pulau Buru pada 2 Agustus 1969. Meski sama-sama berada di unit tiga, pada awal-awal kedatangan (di Pulau Buru), dia belum bisa bertemu Pram. Sebab, Pram yang dari Jakarta mendapat tempat yang berbeda dengan Tumiso yang datang dari pelabuhan Surabaya. Barulah pada akhir 1969 dia bisa bertemu dengan sosok yang diidolakannya itu. “Kami sama-sama dipekerjakan di pertanian,” kata ayah satu anak tersebut. Sejak saat itu, hubungan Tumiso dengan Pram semakin akrab. Pada awal pengasingannya di Pulau Buru, kata Tumiso, Pram tidak menulis. Sebab, seluruh tapol dikerahkan untuk berproduksi. “Teman-teman suka bertanya, Pak Pram gak nulis? Pram pun menjawab gak ada waktu, beku, macet, blank,’’ ungkap Tumiso mengingat saat-saat itu. Baru pada 1972, ada izin dari Kejaksaan Agung yang memperbolehkan Pram untuk menulis. Sebagai pengagum banyak tokoh hebat, Pram memacu diri dengan banyak membaca buku. Semata-mata untuk mengimbangi tokoh yang dikaguminya. Dalam proses itulah, Pram menemukan sosok Tirto Adhi Soerjo yang tidak banyak diekspos.  Karena itu, dalam Tetralogi Pulau Buru, Pram menjadikan sosok Tirto Adhi Soerjo sebagai lakon utama. Dalam novel Bumi Manusia, tokoh itu bernama Minke, pribumi yang berpendidikan Eropa. “Annelies, Nyai Ontosoroh, dan lainnya itu imajinasi Pram. Hebat kan. Dia mampu menggambarkan situasi pada zamannya,” terang Tumiso.(folly akbar/bersambung)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: