Akibat Lemahnya Kontrol
HARJAMUKTI – Pengamat Kebijakan Publik, Hasanudin menilai, praktik banyaknya PNS yang sudah diklatpim namun tidak kunjung menempati posisi sesuai aturan, akibat lemahnya kontrol dewan. Padahal, sesuai aturan, DPRD juga menjadi penyelenggara pemerintahan. Harusnya bisa mengawasi serius persoalan mutasi. “Mungkin praktik begini leluasa, karena tidak ada kontrol dari dewan,” ujarnya, Rabu (18/8). Kondisi ini, kata dia, membuat arah kebijakan tentang pembinaan kepegawaian di Pemkot menjadi tidak jelas. Misal tentang keputusan mutasi yang berlarut-larut. Kemudian, banyak ditemukannya jenjang karir dan kepangkatan reguler tidak jelas. Misal sudah duduk di eselon 3 dan seterusnya, maka pangkat minimalnya 3 D, untuk eselon dua pun syarat minimal pembina atau golongan 4 A. “Kita juga tidak bisa menyalahi walikota, kalau syarat minimalnya bagi seseorang PNS untuk memenuhi jabatan struktural sudah terpenuhi,” ungkapnya kepada koran ini saat ditemui di kawasan Perumnas. Menurutnya, fenomena tidak kalah penting untuk disikapi adalah pola zig zag membuat penataan aparatur jadi runyam. Sebelumnya fungsional dalam perjalanan, mengalami lompatan jauh ke struktural. Promosi ini pastinya sangat mengganggu kinerja. Membuat pegawai jadi apatis, pada akhirnya kualitas pelayanan publik menurun. Karena mengalami masa penyesuaian yang tidak sebentar untuk pegawai yang dari fungsional ke struktural. “Kalau begini idealnya yang rugi adalah pemkot. Dan fenomena ini indikasinya terjadi pada pelaksanaan mutasi sekarang,” papar aktivis sosial ini. Hasanudin mengaku, sebenarnya keadaan seperti ini sangat riskan. Tatkala bawahan keberatan bisa mengajukan perkara ke PTUN, dan itu sangat dimungkinkan. Dengan alasan sudah menyalahi ketentuan yang ada dan bawahan merasa dirugikan. Terpisah, pegawai golongan IV A, menempati jabatan sebagai kepala sub bagian pada sebuah OPD, yang minta disembunyikan namanya berpendapat baginya bukan hal yang perlu dipusingkan saat aturan kepegawaian tidak kunjung berjalan baik. Meski diakui, perasaan kecewa sebagai manusia biasa kerap muncul. ”Karena hidup itu pilihan. Saya tidak akan mati karena jabatan,” tandasnya. Terpisah, mantan Wakil Walikota Cirebon Dr H Agus Alwafier By MM mengaku saat menjadi wakil walikota kerap mendengar keluhan adanya uang pelicin. Hanya sulit untuk membuktikan kebenaran dari informasi tersebut. Sekalipun pada waktu itu diharapkan ada PNS yang mau memberikan laporan. ”Memang saya sering mendengar keluhan itu ketika menjabat wakil ketua DPRD maupun wakil walikota. Tapi terus terang sulit sekali datanya,” paparnya. Karena kesulitan tersebut, dirinya hanya mampu mengimbau, baik saat briefing staf maupun kesempatan lainnya bahwa uang pelicin memiliki hukum dosa besar. Ini mestinya tidak dijadikan budaya, meski telah terjadi di berbagai aspek kehidupan. Karena akan merusak moral diri sendiri. ”Dulu memang saya pernah dengar menjadi kepala sekolah harus ada uang pelicin Rp20 sampai Rp60 juta, menjadi kepala dinas Rp50 juta, menjadi eselon III Rp30 juta. Tapi kalau sungguh itu terjadi, saya tidak habis pikir kenapa teganya melakukan itu,” bebernya. Sementara itu, Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BK Diklat) belum bisa memberikan keterangan apapun soal persoalan mutasi. Kepala BK Diklat, Drs Umar Said, menolak memberikan keterangan saat akan dikonfirmasi Radar. Bahkan, Umar melalui salahsatu stafnya menyebut kalau pimpinannya itu tidak mau memberi keterangan bila tidak didampingi Kepala Bidang Mutasi, Hayat. “Kata bapak, kalau tidak ada Pak Hayat bapak tidak mau,” tandasnya. (hen/yud)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: