Kata Guru Besar UPI; UN Tak Perlu Tiap Tahun

Kata Guru Besar UPI; UN Tak Perlu Tiap Tahun

JAKARTA – Fungsi Ujian Nasional (UN) sebagai pemetaan dan tidak digelar setiap tahun, mulai mendapat dukungan. Diantaranya disampaikan guru besar kurikulum Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Said Hamid Hasan. Konsentrasi pemerintah seharusnya bukan di UN, tetapi perbaikan kualitas sekolah. Setelah nilai UN tidak menjadi bagian dari penentu kelulusan, otomatis fungsi sebagai pemetaan kian kuat. ’’Kalau sebagai pemetaan, UN seharusnya memang tidak digelar setiap tahun. Setelah hasil pemetaan keluar, pemerintah langsung memperbaiki kualitas sekolah yang nilainya di bawah standar nasional,’’ katanya, Jumat (21/10). Said menuturkan, pemerintah bisa memberikan waktu kepada sekolah untuk perbaikan selama dua sampai tiga tahun. Setiap tahun upaya perbaikan itu dimonitoring. Sementara yang terjadi selama ini, tenaga pemerintah tersedot pada penyelenggaraan UN nya. Sedangkan pembenahan pasca UN tidak jalan. ’’Saya harap pemikiran Mendikbud Muhadjir sampai kesitu (perbaikan kualitas paca UN, red). Sebab jika tidak ada upaya perbaikan, hasil pemetaan dari UN tidak ada fungsinya,’’ tuturnya. Sementara untuk siswanya sendiri, Said menegaskan, tetap harus ada pengukuran kompetensi dan hasil belajar. Namun evaluasinya bisa diserahkan ke sekolah dengan tetap diawasi. Dia juga menegaskan evaluasi ketuntasan belajar itu sebaiknya tidak di penghujung masa studi. Sebaliknya, dia mengusulkan supaya ujian pengukuran itu dilaksanakan setahun sebelum kelulusan. Jika ada siswa yang belum mampu mengejar standar kelulusan, masih ada waktu satu tahun untuk ’’direparasi’’. Menurutnya pemerintah harus memberikan jaminan bahwa siswa yang dinyatakan tuntas belajar harus memiliki nilai di atas standar kompetensi minimal. Saat ini memang ada UN perbaikan. Namun pelaksanaannya hanya formalitas. “Siswa yang nilainya jelek dan mengikuti UN perbaikan, tidak mendapatkan pendampingan belajar. Mereka dilepas begitu saja dan sesuka hatinya untuk ikut UN perbaikan,” ucapnya. Dukungan UN dihentikan juga muncul dari kalangan orangtua siswa. Dian Susilo orangtua dari Salsa, siswi SMAN di Tangerang Selatan menjelaskan UN sebaiknya diserahkan ke sekolah. Kemudian anggaran UN yang sangat besar, bisa digunakan untuk infrastruktur pendidikan. ’’Di daerah Banten, masih banyak siswa yang harus melewati jembatan jelek menuju sekolah,’’ katanya. Sementara itu dari pihak guru, suara untuk mempertahankan UN tetap muncul. Seperti yang disampaikan oleh guru bahasa Indonesia di SMAN Yosowilangun, Lumajang, Jawa Timur Sutinawati. ’’Saya kurang setuju jika UN digelar tidak setiap tahun,’’ sebutnya. Menurutnya, penyelenggaraan UN sudah menjadi kegiatan rutin pendidikan sejak dulu. Ia khawatir greget siswa dalam belajar berkurang, gara-gara tidak ada UN. Jika semangat untuk belajar berkurang, pengaruhnya siswa bakal menganggap enteng pelajaran. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud Totok Suprayitno membenarkan bahwa Kemendikbud sedang mengkaji pelaksanaan UN. Dia menjelaskan pengkaian UN itu untuk seluruh aspek. ’’Pengkajian ini bukan untuk menghapus UN sama sekali,’’ tuturnya. Terkait dengan anggaran untuk UN, menurutnya memang besar. Namun jika dibagi dengan seluruh peserta, unit cost pelaksanaan UN hanya Rp80 ribu per siswa. Dia belum bisa memastikan kapan hasil kajian UN itu keluar. Intinya menjelang pergantian tahun 2017 nanti, sudah ada kebijakan terkait penyelenggaraan UN. (wan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: