Dior, Liverpool, dan Persebaya

Dior, Liverpool, dan Persebaya

Catatan: Dahlan Iskan BARU sekali ini saya nonton bareng pecinta Liverpool Surabaya. Padahal, saya sudah sering nobar di tempat lain: Jogjakarta, Jakarta, Medan, Aljazair, Chicago... Saya menyesal kok tidak sejak dulu-dulu. Ternyata ramainya bukan main. Penonton nobar Sabtu malam lalu bisa jadi lebih banyak dari penonton pertandingan Piala AFF 2016 di Manila, sehari sebelumnya. Jangan-jangan nobarnya Manchester United atau Chelsea di Surabaya lebih seru lagi. Cafe DJavu di Ngagel Jaya Selatan ini penuh sesak. Atmosfernya pun bak sebuah stadion. Serunya itu lho yang bikin gemes. Yel-yelnya, nyanyi-nyanyinya, sorakannya, gemuruh tepukannya, nyumpah serapahnya, seperti saya lagi nonton di stadion saja. Saat penyerang andalan Liverpool Philippe Coutinho cedera, misalnya, suasana mencekam. Apalagi, Liverpool yang sudah mengurung Sunderland hingga 80 persen belum juga bisa bikin gol. Gemes. Jengkel. Marah. Dongkol. Bahkan, ada perasaan: inikah nasib Liverpool untuk tidak bisa bikin gol? Coutinho malam itu memang diharap bisa berbuat banyak. Sunderland yang memarkir truk gandengnya di depan gawangnya sulit dibobol. Coutinho-lah yang diharap bisa menendangkan bola lengkungnya dari luar tempat parkir. Ternyata justru dia cedera. Digotong keluar. Nafas penonton pun sesak. Begitu lama penonton harus menahan nafas. Karena itu sorak pun akhirnya meledak ketika di babak kedua terjadi gol dari kaki Divock Origi. Gol beneran. Truk gandeng itu pun bobol. Gol lagi dari Mane. Liverpool menang 2-0. Pukul 24.00, saat pertandingan usai Surabaya hujan deras. Di teras cafe yang terkena tempias itulah Adryan Bessy, Ketua Koordinator Wilayah BIGREDS (pecinta The Red Liverpool) Surabaya, mengalungkan syal Liverpool di leher saya. Itu pertanda bahwa saya harus ikut nonton lagi minggu depan. Malam itu kebahagiaan saya bertambah-tambah karena saya duduk sebangku dengan anak muda, tinggi, ganteng dan penggila Persebaya. Namanya: Dior Asning Kosyu. Dior begitu memuja Persebaya. Saya dengarkan kisah kegilaannya pada Persebaya saat jeda babak pertama. Dior sedang menulis buku tentang Persebaya. Untuk monumen kehebatan Persebaya di masa lalu. “Persebaya ini Liverpool-nya Indonesia,” kata Dior. Sama-sama jauh dari ibu kota, sama-sama kota pelabuhan, dibelah sungai, dan sama-sama fanatisme supporternya luar biasa. Masih ada satu lagi, katanya: sering menjadi juara di masa lalunya. Dior tergila-gila pada kisah kepahlawanan Persebaya saat jadi juara pada 1988. Hebohnya itu dia nilai sangat melegenda. Keterlibatan masyarakat Surabaya, tokoh-tokohnya, tret-tet-tetnya, jerseynya, semua heboh. Mengguncangkan. Kualitas tim saat juara 1988 itu dia nilai yang tertinggi yang pernah dimiliki Persebaya. Belum pernah Persebaya punya tim sebagus tahun itu. Dior adalah seorang penulis yang cerdas. Email-emailnya kepada saya keesokan harinya mengesankan. Gaya tulisannya lincah. Pasti buku Persebaya-nya nanti menarik. Ternyata anak kelahiran Surabaya yang bapaknya kerja di TVRI ini memang bekerja di bidang penulisan. Dia seorang copy writer di sebuah perusahaan swasta. Kecintaannya pada Persebaya sudah terbina sejak Dior berumur 3 tahun. Saat itu selalu diajak bapaknya nonton Persebaya di Gelora 10 Nopember, Tambaksari. Kini dia juga membangun website untuk kejayaan Persebaya. Namanya bledugijo.net. Mengapa Dior sangat mengagumi Persebaya yang juara pada 1988? Apakah dia ikut tret-tet-tet ke Jakarta? Apakah Dior ikut gelombang Bonek yang menggila saat itu? Ternyata tidak. Kecintaan pada legenda Persebaya tahun 1988 itu murni terbangun dengan sendirinya. Dior lahir pada 1989. Setahun setelah Persebaya juara. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: