Majalengka Masih Lestarikan Tradisi Ukur Bayi dengan Apem

Majalengka Masih Lestarikan Tradisi Ukur Bayi dengan Apem

MAJALENGKA - Sebagian masyarakat di Kabupaten Majalengka masih melakukan ritual acara menyambut Rebo Wekasan (rabu akhir pada bulan Safar) dengan membuat kue apem. Bahkan di Desa Ciborelang Kecamatan Jatiwangi masih ada tradisi ukur bayi dengan kue apem. Seorang warga Desa Ciborelang, Siti Maryam menyebutkan, keponakannya yang baru lahir diukur dengan menggunakan kue apem. Awalnya pengukuran bayi itu akan dilakukan pada Rabu (30/11), tapi karena belum puput, sehingga acara ritual dilakukan pada Kamis (1/12). Acara syukuran pada Jumat (2/12), sekaligus mengukur badan bayi itu dengan apem. Siang harinya, orang tua si bayi melakukan acara saweran dan membagikan apem kepada para tetangga dan kerabat. Menurutnya, tradisi ukur bayi dengan apem memang sudah mulai jarang dilakukan warga. Tapi sebagian masyarakat masih melakukan tradisi dari para leluhur tersebut. Penuturan para sesepuh, kata Maryam, apem merupakan makanan tradisional. Di bulan Safar, makanan ini sering diperoleh kiriman dari orang-orang terdekat. Sebagian warga memaknai bulan Safar sebagai bulan apem. Di beberapa daerah ada yang melakukannya dengan tradisi Rebo Wekasan. Berbagi apem dengan tetangga dan ada juga yang melaksanakan ritual dan ukur apem. Ukur apem pada ritual ini dikhususkan bagi bayi yang lahir di bulan Safar. Bayi yang sudah puput, sebelum diberi nama, diukur dengan apem di sekeliling badannya. Maksud dari ritual itu supaya bayi terhindar dari segala macam penyakit. Kemudian jumlah apem yang dikelilingkan sebagai pengukurnya. Apem kemudian dibagikan kepada tetangga dan saudara yang berarti berbagi kebahagiaan atas rezeki yang telah diberikan Sang Pencipta. Bayi yang telah diukur apem itu kemudian segera dipersiapkan untuk diberi nama. Sambil melakukan ritual lainnya dari mulai saweran sampai membagi apem-apem kepada tetangga dan sanak saudara. “Tak menjadi prioritas apa maksud dari ritual tersebut. Intinya ketika tradisi membagikan apem ini membuat orang bahagia, maka keluarga yang melaksanakan ritual tersebut akan merasa lebih berbahagia karena bisa berbagi,” ungkapnya. Maksud agar bayi terhindar dari segala penyakit kemudian menjaganya dengan dikelilingi apem, tergantung kepercayaan masing-masing. Sebagai salah satu kearifan lokal, sebagian masyarakat memercayai bahwa zaman dahulu kala, semua hal yang berkaitan dengan tolak bala yang bersifat klenik caranya mengelilingi bayi dengan apem. \"Diharapkan tradisi itu tetap dipertahankan sebagai bentuk kekuatan tradisi dari para leluhur. Tradisi ngapem ini kemudian turun menurun dilaksanakan sebagai rasa syukur atas rezeki yang telah diberikan Tuhan,\" bebernya. Sedangkan di Desa Waringin Kecamatan Palasah, tradisi membuat kue apem pada setiap bulan safar terutama pada Rebo Wekasan masih dilakukan warga. Ketua RT 04/02 Desa Waringin, Nur Hidayat menyebutkan, warga patungan beras seikhlasnya. Lalu, warga bergotong royong membuat kue apem. Setelah matang, apem tersebut dibagikan kepada warga plus dengan cairan gula merah. Sementara itu, warga di Kelurahan Munjul melaksanakan doa bersama di Musala Nurul Iman Munjul dalam rangka menyambut Rebo Wekasan. Menurut warga, pelaksanaan doa bersama bakda Magrib dimaksudkan untuk memohon pertolongan Allah agar terhindar dari bencana. \"Warga masing-masing membawa makanan dan disantap bersama-sama dengan penuh rasa kekeluargaan,\" tutur Dede. (ara)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: