Kenaikan Listrik dan Sembako Picu Inflasi

Kenaikan Listrik dan Sembako Picu Inflasi

JAKARTA – Jika pertumbuhan ekonomi tinggi, inflasi mendaki masih bisa ditoleransi. Namun, di tengah perekonomian yang belum pulih benar seperti saat ini, inflasi menjadi ancaman yang tidak bisa dikesampingkan. Saat ini pemerintah lah yang perlu bekerja ekstrakeras untuk mengantisipasi tekanan inflasi. Sebab, momen kenaikan tarif listrik berbarengan dengan momentum Ramadan yang merupakan siklus rutin pemicu inflasi. Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Alexander Sugandi memprediksi puncak tekanan inflasi terjadi Juni mendatang. Eric menuturkan, akan terjadi efek simultan dari kenaikan tarif listrik pada Juni nanti. ’’Tapi, forecast saya untuk inflasi Mei 2017 di level 0,3 persen mtm (month-to-month) atau 4,2 persen yoy,’’ ucapnya. Tarif listrik untuk kelompok pelanggan daya 900 volt ampere (VA) periode 1 Mei kembali naik sebesar 30 persen. Kenaikan itu sesuai kebijakan pemerintah mencabut subsidi listrik secara bertahap bagi kelompok pelanggan 900 VA. ’’Yang dilakukan pemerintah saat ini adalah membuat subsidi listrik tepat sasaran, bukan menambah beban masyarakat,’’ kata Kepala Biro Komunikasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujatmiko beberapa waktu lalu. Pencabutan itu mengacu Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang tarif listrik yang disediakan oleh PLN. Penyesuaian tarif listrik golongan rumah tangga 900 VA dilakukan secara bertahap tiap dua bulan menuju tarif keekonomian dengan besaran sekitar 30 persen. Penyesuaian tersebut dilakukan sejak 1 Januari 2017.  Saat itu tarif listrik naik menjadi Rp791 per kilowatt hours (kWh). Kemudian, ada kenaikan lagi pada 1 Maret 2017 menjadi Rp1.034 per kWh. Kali ini, per 1 Mei 2017, tarif listrik pelanggan 900 VA naik dari Rp 1.034/kWh menjadi Rp1.352 per kWh. Setelah ini, pemerintah akan menaikkan kembali tarif listrik bagi pelanggan kapasitas 900 VA mulai 1 Juli 2017. Sejalan dengan hal itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi untuk April tahun ini adalah 0,09 persen. Sementara itu, inflasi sepanjang tahun tercatat 1,28 persen dan inflasi tahun ke tahun 4,17 persen. Dilihat dari komposisinya, komponen volatile foods mengalami deflasi 1,26 persen. Lantas, komponen administered price masih mengalami inflasi 1,27 persen. Penyumbang inflasi terbesar berasal dari kenaikan tarif dasar listrik (TDL) tahap kedua serta kenaikan tarif angkutan udara, besin, dan rokok. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Eko Listyanto menjelaskan, berdasar data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, sejumlah bahan pangan sudah mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Antara lain, harga cabai, telur ayam ras, minyak goreng, gula pasir, dan daging sapi. ’’Kelihatannya di minggu keempat ini akan banyak dinamika (harga) baru. Karena itu, setelah dilakukan simulasi, kita peroleh prediksi inflasi di kisaran 0,55 persen,” ujarnya. Meski begitu, Eko menuturkan bahwa besaran inflasi Mei tahun ini masih lebih rendah ketimbang periode yang sama tahun lalu. Pada Mei 2016, besaran inflasi mencapai 0,81 persen karena bertepatan dengan bulan Ramadan. Angka inflasi meningkat menjadi 0,86 persen pada bulan berikutnya yang merupakan momen Lebaran. ’’Tapi, tetap harus ada langkah dari pemerintah dan Bank Indonesia. Setelah Lebaran, ada kemungkinan harga minyak dunia naik. Apalagi, negara-negara OPEC dan non-OPEC sudah sepakat memperpanjang kuota pembatasan produksi minyak di pasar internasional. Jadi, ada kemungkinan besar harga minyak akan naik,” ucapnya. Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng menyatakan, salah satu upaya menekan inflasi adalah dengan membentuk tim pengendali inflasi daerah dan operasi pasar. ’’Ya, semua jurus harus dikeluarkan, mulai kesiapan kerja sama dengan daerah untuk mencukupi supply-nya, operasi pasarnya, hingga imbauan ke berbagai pihak pemimpin daerah,’’ katanya. Dia juga mengimbau agar masyarakat bisa mengendalikan konsumsi dengan benar dan baik. Harapannya, tidak ada lagi penimbunan bahan pangan. Sebab, tindakan tersebut bisa memicu kelangkaan pasokan yang pada gilirannya membuat harga pangan melonjak dan berujung pada inflasi. ’’Puasa kan harus bisa tahan hawa nafsu kita. Kalau puasa makannya jangan lebih banyak daripada enggak puasa ya, itu kan pengaruhi inflasi,’’ ungkapnya. (dee/c20/sof)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: