Armada Cheng Ho Mampir Champa sebelum ke Ayuttaya

Armada Cheng Ho Mampir Champa sebelum ke Ayuttaya

SETELAH meninggalkan Tiongkok, sebenarnya rute pertama yang dikunjungi armada Cheng Ho adalah Champa (kini masuk Vietnam). Namun, dari banyak literatur dan wawancara dengan sejumlah pakar Cheng Ho, tidak ada jejak signifikan yang tertinggal di kota tua tersebut. Akhirnya, kami memutuskan langsung menuju Thailand. Ke Kota Ayuttaya dan Bangkok. Tan Ta Sen, presiden komunitas Cheng Ho internasional, mengatakan sulit mencari peninggalan Cheng Ho di Champa. “Hanya pelabuhan. Tidak ada monumen atau masjid atau kelenteng atau apa saja yang menjadi jejak Cheng Ho,” katanya. Menurut dia, sumber perjalanan Cheng Ho ke Champa diperoleh dari catatan dua anak buahnya yang muslim, Ma Huan dan Fei Xin. “Ada sejumlah bawahan Cheng Ho yang memang bertugas seperti jurnalis modern. Mereka mencatat apa saja yang dilihatnya,” kata pria 83 tahun tersebut. Dari catatan tersebut diketahui bahwa Cheng Ho sempat mampir di Champa sebelum ke Ayuttaya. Armada Cheng Ho sampai di Champa setelah sepuluh hari melakukan perjalanan dari Pelabuhan Taicang, Suzhou. Catatan tersebut cukup akurat. Sebab, dilukiskan bahwa pelabuhan tempat mendaratnya bernama Qui-nhon dan Campapura, ibu kota Kerajaan Champa. Menurut Tan, kedatangan Cheng Ho tersebut membawa misi pengakuan. “Raja Champa menerima dengan baik. Apalagi, kemudian raja Champa juga menunjukkan ada kampung pecinan yang penduduknya hidup seperti rakyat Champa lainnya tanpa ditindas,” terangnya. Itu pun bisa memuaskan pihak Tiongkok. Selain itu, memang tidak ada pilihan lain bagi raja Champa selain mengakui kekaisaran Tiongkok. Siapa pun tentu tidak mau salah paham dengan Cheng Ho yang mendaratkan 300 kapal di bibir pantai lengkap dengan 27 ribu tentara siap tempur. Tujuan ekspedisi Cheng Ho, selain menemukan dunia baru, adalah meminta pengakuan kepada dunia soal kepemimpinan Kaisar Zhu Di sang Putra Langit. Dunia, tampaknya, juga tidak berkeberatan. Sebab, selain angkatan perang Tiongkok memang besar dan bisa menjelajah ke mana-mana, yang diminta pun tidak repot. “Hanya pengakuan dan persahabatan. Sehingga seluruh dunia bersatu harmoni,” terang mantan asisten profesor di Nanyang Technological University of Singapura itu. Biasanya pengakuan tersebut ditandai dengan pemberian upeti kepada Kaisar Zhu Di. ”Itu pun sebagai syarat saja. Sebab, begitu memberikan pengakuan dan upeti, rombongan Cheng Ho biasanya balas memberikan hadiah yang telah disiapkan. Sering kali nilainya lebih besar,” tambahnya. Hanya, kata Tan Ta Sen, tidak banyak yang bisa ditemukan sebagai tetenger kedatangan Cheng Ho di Champa. ”Bukannya tak ada. Tapi, biasanya berupa guci-guci atau pecahan guci yang ada di dasar laut. Sehingga tak ada jejak peninggalan yang bisa menjadi bukti,” terangnya. Tan juga bercerita, Cheng Ho dan pasukannya mendapati ritual pergantian kepemimpinan yang cukup unik di Champa. Yakni, ada pembatasan masa kepemimpinan raja selama 30 tahun. Setelah itu, raja harus menjadi pendeta/pertapa dan mengasingkan diri ke hutan, hanya boleh makan tumbuh-tumbuhan. Setelah itu, dia bersumpah untuk bersedia menjadi makanan hewan buas sebagai balasan jika pernah berbuat zalim kepada rakyatnya. “Setelah melewati setahun tanpa dimakan hewan buas, raja tersebut dapat berkuasa kembali,” terang Tan Ta Sen. (*/c10/nw)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: