NU Tetap Tolak, Muhammadiyah Dukung

NU Tetap Tolak, Muhammadiyah Dukung

JAKARTA- Jika penentuan awal Ramadan 1438 H, NU dan Muhammadiyah bisa akur, tidak dengan penerapan sekolah 5 hari. Pro kontra kebijakan sekolah lima hari terus bergulir. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siraj menegaskan penolakannya pada rencana sekolah lima hari yang digagas Mendikbud Muhadjir Effendy. Sikap tegas itu lantaran ada indikasi sekolah lima hari itu akan tetap dijalankan. Meskipun Presiden Joko Widodo minta agar ditunda. “Seandainya menterinya (Mendikbud Muhadjir Effendy, red) sudah menerima imbauan presiden kita tidak akan keras kayak gini. Indikasinya kan menterinya akan ngotot,” ujar KH Said di Kantor PBNU, petang kemarin (15/6). KH Said memperingatkan Kemendikbud agar tidak membuat perubahan yang merugikan banyak pihak. Saat ini sekolah dan madrasah diniyah sudah berjalan beriringan. Pagi hingga siang siswa belajar di sekolah. “Malamnya mengaji Alquran. Itu sudah indah banget kok,\" ujar dia. Setidaknya ada banyak hal yang mendasari penolakan dari PBNU. Yakni penambahan waktu belajar di sekolah tidak selalu identik dengan perbaikan karakter, dinilai bertentangan dengan sistem pendidikan nasional tentang standar pelayanan minimal berbasis sekolah atau madrasah, dan berpotensi besar melampaui pada jumlah jam mengajar guru di sekolah. Selain itu dari hasil pantauan PBNU, belum semua sekolah siap karena fasilitas yang masih minim. Kondisi orang tua yang dianggap bekerja seharian juga tidak mencakup seluruh masyarakat. Masih lebih banyak orang tua yang punya banyak waktu untuk menemani anak-anaknya. ”Mengingat tingginya gejolak dan keresahan yang terjadi di masyarakat, maka dengan ini PBNU meminta kepada Presiden untuk mencabut membatalkan kebijakan lima hari sekolah,\" kata KH Said membacakan pernyataan sikap PBNU. Ketua LP Ma\'arif NU Arifin Junaidi menuturkan, sudah melayangkan protes sejak ide full day school itu muncul tahun lalu. Perubahan menjadi lima hari kerja menurut dia hanya beda istilah saja dengan konsekuensi sama. Siswa jadi lebih lama di sekolah. “Pendidikan karakter itu di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kalau full day school seperti ini maka akan terkurangi salah satu, akan njomplang,” ujar dia. Dia mengungkapkan bila kebijakan sekolah lima hari itu tetap direalisasikan bakal ada gejolak. Dia menyebutkan para guru bisa jadi akan demo besar-besaran ke Jakarta untuk menuntut penghentian kebijakan tersebut. “Saya baru pulang dari Makassar dan Banjarmasin mereka resah dengan kebijakan mendikbud,” ungkap dia. LP Ma\'arif NU membawahkan sekitar 48 ribu sekolah dan madrasah. Perinciannya 30 ribu madrasah meliputi MI, MTs, MA. Jumlah siswa mencapai 15 juta siswa dan guru sebanyak 500 ribu orang.  Sedangkan 18 ribu sekolah mulai dari SD, SMP, dan SMA. Total ada 9 juta siswa dan 200 ribu guru. Berbeda dengan NU, suara dukungan terhadap kebijakan Muhadjir datang dari Muhammadiyah. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai bahwa keputusan Mendikbud Muhadjir berdasar pada pengamatan akan kurang efektifnya sistem sekolah yang ada saat ini. Banyak waktu luang yang dihabiskan murid di luar sekolah. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah. Selain itu, terdapat juga masalah akademik dan administrasi keguruan. Dimana banyak anak yang mengikuti les pelajaran, keterampilan, maupun kesenian. Kebijakan ini, kata Mu’thi, bisa mengatasi persoalan-persoalan tersebut. “Caranya dengan menjalin kerjasama antara guru dengan masyarakat,” kata Mu’ti. Dia pun menjamin bahwa Muhammadiyah tetap akomodatif terhadap kebijakan pemerintah selama tidak bertentangan dengan ajaran islam. “Sekolah lima hari cuma persoalan strategi, bukan substansi,” kata alumnus IAIN Walisongo Semarang ini. Mu’ti juga meminta agar masyarakat tidak terlalu reaktif terhadap keputusan Mendikbud ini. Karena keputusan ini bersifat bertahap dan sukarela. Sebagaimana kurikulum K-13 yang masih belum berlaku secara penuh meskipun telah 4 tahun berjalan. “Tidak ada masalah, yang siap monggo laksanakan, yang belum dipersiapkan secara bertahap,” ungkapnya. Dukungan ini ditegaskan Mu’ti bukan dalam rangka berseberangan dengan NU maupun karena semata Mendikbud adalah Pimpinan Pusat Muhammadiyah.  Kebijakan Mendikbud ini juga akan berdampak pada lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Muhammadiyah berupa sekolah, madrasah diniyah, dan boarding school. “Tidak hanya NU dan Muhammadiyah, tapi semua lembaga pendidikan Islam, Kristen, Katolik dan umat agama lain yang punya kegiatan berbasis tempat ibadah,” katanya. Terhadap pemerintah, Muhammadiyah mengimbau untuk tidak gamang mengambil keputusan. Gelombang keberatan dan penolakan dapat diatasi dengan komunikasi yang baik dan sosialisasi yang komprehensif. Komunitas pendidikan juga harus dipahamkan. Jika memang tidak mampu, bisa memohon dispensasi bukannya malah memaksa kebijakan ini dihapus dan dibatalkan. “Wait and see dulu sambil dipelajari kekurangannya,” pungkas Mu’ti. (wan/jun/tau)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: