Mengupas Sejarah dan Filosofi Tarian Angklung Bungko lewat Buku

Mengupas Sejarah dan Filosofi Tarian Angklung Bungko lewat Buku

CIREBON-Angklung boleh jadi sudah menjadi alat musik tradisional yang dimiliki oleh Jawa Barat dan sudah ditetapkan menjadi warisan dunia. Namun di Cirebon, selain sebagai alat musik, ada juga Tarian Angklung Bungko. Tarian yang diiringi oleh angklung dan alat musik lainnya itu, hingga kini belum banyak referensi. Salah satu yang punya perhatian khusus mengenai Angklung Bungko itu adalah H Toto Sugiarto SE. Dia menulis buku Tarian Angklung Bungko. Bagaimana prosesnya? Literatur mengenai Angklung Bungko masih minim. Makanya, terjadi keresahan bagi Ketua Sanggar Seni Nimas Mayangsari, H Toto Sugiarto SE. Berawal dari penelitian skipsi keponakannya, Lestari, yang kuliah Jurusan Tari di UPI Bandung, Toto dimintai bantuan untuk mencari literatur. Namun rupanya, literatur mengenai Angklung Bungko sangat terbatas. Setelah mendampingi keponakannya membuat skripsi itu, Toto kemudian mengupas tarian Angkulung Bungko yang dituangkan dalam sebuah buku. \"Sangat sayang Angklung Bungko ini punya sejarah dan filosofi tersendiri. Namun di Cirebon literaturnya terbatas, termasuk narasumber. Saya berusaha melengkapi literatur yang sudah ada untuk mengupas sejarah, filosofi tarian dan juga struktur tariannya,\" ungkap Toto di rumahnya, Desa Karangmulya Kecamatan Plumbon. Ada beberapa yang menarik dalam mengupas soal Angklung Bungko tersebut. Salah satunya terkait alat musik angklung yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai alat musik tradisional khas Jawa Barat. Ternyata, Cirebon lebih dulu mengenal alat musik tersebut sekitar tahun 1500. Adalah Ki Gede Bungko yang mulai memperkenalkannya. Ki Gede Bungko sendiri merupakan salah satu senopati dari Majapahit yang mengasingkan diri. Dia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Hingga akhirnya tiba di daerah pesisir yang kemudian dinamakan Desa Bungko. Toto menyebut, kedatanga Ki Gede Bungko awalnya untuk menghentikan penyebaran agama Islam yang telah meruntuhkan Majapahit. Niat awal ingin menghentikan penyebaran agama Islam, Ki Gede Bungko justru masuk Islam dan berguru kepada Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah. Hingga akhirnya dia dikenal menjadi Senopati Sarwajala atau komandan angkatan laut. Ki Gede Bungko juga yang mencipatakan gerakan-gerakan tarian Angklung Bungko. Alat musik angklung sendiri, terpengaruh dari daerah Blambangan yang terlebih dulu mengenal alat musik dari bambu tersebut. Sementara di Jawa Barat, angklung mulai dikenal dan dikembangkan oleh Gaeng Sutigna pada tahun 1935. \"Jadi, Cirebon ini sebenarnya sudah mengenal angklung lebih dulu dari pada Bandung,\" ucapnya lagi. Mulai awal 1500 Masehi, Ki Gede Bungko disebut sudah menggunakan tarian Angklung Bungko untuk menyiarkan nilai-nilai Islam. Meskipun demikian, gerakan tarian Angklung Bungko melambangkan dan menceritakan peperangan. Angklung Bungko itu menjadi salah satu penabuh genderang perang dan pemacu semangat. Keterlibatan Ki Gede Bungko memang cukup intens dalam membantu peperangan melawan kolonial. Pada tahun 1525, pasukan angkatan laut Ki Gede Bungko terlibat dalam penyerangan terhadap Sunda Kelapa, yang tergabung dalam Kesultanan Demak dan Banten yang dipimpin oleh Fatahilah. Pada tahun 1528, dia juga terlibat dalam Perang Palagan di Gunung Kromong Palimanan antara pasukan Cirebon dan Galuh. Kemudian pada tahun 1529, juga terlibat dalam penaklukkan Talaga. Tahun 1567 terlibat dalam penumpasan Lawa Ijo bajak laut. Karena keberhasilannya saat perang Sunda Kelapa, Sunan Gunung Jati memberikan Ki Gede Bungko gelar dengan sebutan Syekh Benting. Gelar itu diberikan karena saat melakukan tapa Brata. Ki Gede Bungko selalu mengikat perut dengan benting atau sabuk supaya menahan lapar. \"Ada fakta lainnya, bahwa Ki Gede Bungko ini ternyata juga anak menantu dari Syekh Lemahabang atau Syekh Siti Jenar,\" sebutnya. Struktur tari Angklung Bungko sendiri biasanya para penari yang umumnya pria memakai pakaian terbuka telanjang dada dengan celana pendek. Hal ini menggambarkan seorang nelayan. Ada juga penggunaan iket jenis ayam anggrem atau mengeram. Hal ini memiliki makna segala kegiatan itu harus memiliki tujuan regenerasi. Juga penggunaan selendang yang melambangkan lam alif, yang bermakna; Allah itu awal dan akhir. Sementara untuk penggunaan kacamata hitam itu sebenarnya merupakan modifikasi. (jml)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: