Melihat Rumah Keluarga Aminah yang Belasan Tahun Tanpa Listrik

Melihat Rumah Keluarga Aminah yang Belasan Tahun Tanpa Listrik

Wajah Aminah terlihat berkaca-kaca. Beberapa kali ia menyeka air mata yang menetes membasahi pipi. Perasaannya campur aduk, melihat sebuah lampu listrik menyala di dalam salah satu kamar di rumah sempitnya. Andri Wiguna, Lemahabang BISA pasang listrik adalah salah satu mimpi terbesar pasangan Suha (42) dan Aminah (36) yang tinggal di RT 03 RW 03 Blok C Desa Belawa, Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon. Pasalnya, sudah belasan tahun keluarga dengan pendapatan harian kurang dari Rp30 ribu tersebut, hidup di dalam belenggu kemiskinan. Himpitan kemiskinan tersebut membuat keluarga Aminah tidak berharap terlalu muluk. Jangankan untuk pasang listrik, untuk makan sehari-hari saja rasanya sudah sangat sulit. Namun, kini situasi sudah sedikit berubah. Kondisi rumah Aminah sudah tak gelap lagi, setelah pada Jumat (5/1) pihak PLN menyambungkan listrik ke rumah Aminah. “Baru ada satu lampu, sabar ya nak,” seru Aminah saat ditanya anaknya yang paling kecil, Galang (10). Aminah pun tak henti-hentinya memeluk anaknya tersebut, sebagai bentuk rasa syukur dan tidak percaya, karena setelah sekian lama akhirnya lampu listrik bisa hidup di rumahnya. Ia pun menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah membantunya, termasuk dari PLN Rayon Ciledug yang sudah membantu proses pemasangan listrik tersebut. Rumah milik keluarga Aminah sendiri sebenarnya tidak terletak di pelosok ataupun perbatasan wilayah yang sulit untuk diakses. Bukan pula berada di pedalaman, sehingga minim informasi dan fasilitas. Namun anehnya, selama belasan tahun keluarga yang terdiri dari lima jiwa tersebut, tidak pernah merasakan aliran listrik. Bahkan, jika ditarik garis lurus, rumah Aminah ini kurang dari 100 meter dari jalan kabupaten. Lalu apa yang membuat Aminah sampai ada dalam kondisi demikian? Jawabannya adalah kemiskinan. Ya, sejak menikah belasan tahun lalu dengan Suha (45) warga Cipeujeuh, Aminah harus rela hidup pas-pasan dan seadanya, karena pendapatan Suha yang hanya buruh serabutan jauh di bawah kata cukup. “Suami saya kerjanya tidak tentu. Kadang dapat uang kadang tidak. Kalau setiap hari seringnya nunggu bongkaran di material. Paling dapat Rp20 ribu sampai Rp30 ribu,” beber Aminah. Dengan uang tersebut, Aminah harus bisa putar otak. Harga kebutuhan pokok yang terus naik setiap harinya, membuat Aminah tidak bisa memberikan makanan yang cukup untuk anak-anaknya. “Kadang masak sehari sekali, lauknya tumis kangkung sama sambal, dicukup-cukupin saja. Bahkan pernah selama tiga hari kami tidak masak nasi. Kami hanya masak air, karena saking tidak ada uangnya,” imbuhnya. Dengan kondisi tanpa listrik, praktis membuat keluarga Aminah kesulitan setiap malam tiba. Penerangan seadanya dari lampu tempel dengan bahan bakar solar tidak bisa terlalu diandalkan. Bahkan kedua anak Aminah yang saat ini duduk di bangku SD, terpaksa tidak pernah belajar saat malam hari akibat kondisi penerangan yang ada tidak memadai. “Anak saya tiga, yang pertama ke Jakarta, dulu sekolah hanya lulusan SD. Adiknya yang dua masih SD, yang satu kelas 6, yang kecil kelas 3. Kalau malam ya gelap, lampu tempelnya hanya dua,” katanya. Ia bukan tanpa usaha. Beberapa kali ia meminta menyambung listrik kepada kerabat dan tetangga, namun tidak pernah ada yang bisa. Ia pun tidak berani memaksa karena mungkin tetangganya khawatir ia tidak bisa membayar uang bulanan, terlebih untuk makan sehari-hari saja sudah susah. “Sudah berusaha minta ke tetangga, tapi ya mau gimana lagi? Saya pasrah, jangankan untuk bayar listrik, untuk makan saja berat sekali,” kilahnya. Kini semuanya sudah jadi masa lalu. Satu lampu yang kini menyala di dalam kamar Aminah, sudah cukup menerangi hati para penghuni rumah untuk lebih bersyukur dan selalu bersama dalam segala kondisi. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: