Rumah Kos Luput dari Pengawasan, Masuk PAD Hanya Rp60 Juta/Tahun

Rumah Kos Luput dari Pengawasan, Masuk PAD Hanya Rp60 Juta/Tahun

CIREBON - Semakin banyak universitas, sekolah, perkantoran dan perdagangan, mendorong bisnis kosan semakin marak. Tapi, Pemerintah Kota Cirebon belum mampu memaksimalkan pendapatan dari sektor ini. Bukan hanya itu, pengawasannya seringkali luput. Padahal, kerawanan sosial kerap terjadi. Salah seorang pemilik usaha kos, Alvin (25) mengungkapkan, bisnis ini menjanjikan. Namun mau tak mau, di era saat ini, fasilitas lengkap nan terbaik kosannya itu justru harus bersaing dengan kosan yang menawarkan kebebasan. Harganya jauh lebih murah, asal tinggal, tidak ada peraturan, banyak bebasnya. Mungkin itulah yang alasannya mengapa kosan ehem kerap kali dipilih. \"Karena mereka biasanya menawarkan harga murah, jauh lebih murah. Sudah begitu mereka rata-rata bebas, bisa cowok-cewek masuk,\" tutur Alvin, kemarin. Ia juga menyayangkan minimnya penegakan aturan dari pemerintah. Kalaupun ada kosan yang bebas kegiatan negatif, itu lebih kepada komitmen pemilik. Bukan karena dorongan dari pemerintah ataupun pengawsan. Tidak hanya itu, dalam hal pungutan pajak aturannya dirasa sumir. Bila membuka bisnis itu, setidaknya semua memiliki kewajiban yang sama. Tapi kenyataannya hanya kosan dengan jumlah kamar lebih dari 10 saja yang kena pajak. Menyoal minimnya pengawasan terhadap usaha kosan, Kepala Seksi Pengendalian Operasional Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Drs Herbinawan mengakui belum menjamah kos-kosan di Cirebon. Kemudian dalam pengendalian dari potensi-potensi kerawanan sosial, Satpol PP baru akan memasukan dalam agenda. \"Kalau melihat aktivitasnya memang rawan sekali. Namun kita belum sampai merazia ke kos-kosan, mungkin setelah ini akan kami agendakan untuk kos-kosan sebagai targetnya. Selama ini baru hotel-hotel melati yang kita razia,\" tuturnya. Melirik razia-razia Satpol PP yang biasa digelar di hotel melati, kemungkinan potensi kerawanan sosial yang ada di kos-kosan antar jenis itu serupa. Mulai dari PSK, pasangan bukan suami istri, pasangan selingkuh bukan suami istri, maupun yang tidak memiliki surat nikah atau KTP menandakan sudah nikah. \"Kemungkinan sama dengan yang di hotel melati. Karena rata-rata kos-kosan yang tanpa penjagaan dari pemiliknya ini kan mereka tinggal bareng. Ya hampir mirip dengan hotel-hotel melati,\" ujarnya. Untuk itu ke depannya pihaknya akan mengagendakan kos-kosan yang diindikasi menyimpang. Namun sesuai dengan prosedural, tentuya ada monitoring terlebih dahulu sebelum turun ke lapangan. Petugas juga akan mengumpulkan bukti-bukti yang lebih menunjang. Sayangnya, Badan Keuangan Daerah (BKD) hingga saat ini belum dapat dikonfirmasi. Permintaan wawancara yang diajukan wartawan koran ini belum berbalas. Namun, dari data yang dihimpun Radar rata-rata perolehan pajak daerah dari rumah kos hanya Rp60 juta per tahun. Padahal kalau mengacu ke Peraturan Daerah (Perda) 4/2012 tentang Pajak Daerah, pajak rumah kos ditetapkan dengan tarif 5 persen dari omzet per bulan. Masih dari data tersebut, tercatat hanya 34 rumah kos yang membayar pajak ke kas daerah. Kondisi ini tidak lepas dari klausul perda yang tidak mendukung penarikan pajak. Pada Pasal 1 angka 21 Undang-Undang 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) mengatur hanya rumah kos dengan lebih 10 kamar yang wajib bayar pajak. Aturan ini diperjelas dalam Perda 4/2012 tentang pajak daerah. Dari pantauan yang dilakukan wartawan koran ini, harga sewa kamar kos saat ini cenderung mengalami kenaikan signifikan. Kamar standar tanpa pendingin dengan fasilitas kamar mandi, dihargai Rp600-750 ribu/bulan. Untuk yang sudah terpasang pendingin harganya mencapai Rp1,3 juta atau lebih. Lain dengan di kawasan padat penduduk. Rata-rata harganya jauh lebih murah. (myg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: