Kota Cirebon Sudah Punya Perda Mihol, Hasilkan Uang Denda Rp198 Juta

Kota Cirebon Sudah Punya Perda Mihol, Hasilkan Uang Denda Rp198 Juta

CIREBON-Kota Cirebon punya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4/2013 tentang Pelarangan Peredaran Penjualan dan Konsumsi Minuman Beralkohol (mihol). Kota wali pun diklaim zero alkohol. Kenyatannya, ada saja kasus dan temuan mihol. Satpol PP Kota Cirebon hampir tidak pernah absen membawa sitaan miras atau mihol usai mengadakan razia. Dan sejak 2015 hingga Maret 2018, tercatat denda yang masuk kas negara Rp198 juta dengan 58 putusan sidang. Menurut Kepala Satpol PP Kota Cirebon Andi Armawan, Perda No 4/2013 mengatur siapapun yang menyimpan, menggunakan, dan memproduksi. Jadi yang masuk tiga kategori itu, berarti melakukan pelanggaran. Dikatakan Andi, pihaknya sudah berjalan menegakkan aturan. Tapi  dalam perjalanan penegakan hukum tidak selalu berjalan mulus. Misalnya, mendapat ancaman dari pengusaha atau somasi pengacara dan kuasa hukum. Secara umum Andi menyebut pelarangan mihol di Kota Cirebon lebih baik dibanding kota lain. \"Melihat kondisi 2013 ke belakang, pada jam sekolah sangat mudah mendapat mihol. Dulu sebelum ada perda, miras dijual bebas. Bahkan warung kecil pun ada. Sekarang tidak ada. Kalau pun masih ada, itu mereka yang bandel. Tapi tetap kami tindak,\" ujar Andi saat ditemui Radar Cirebon di ruang kerjanya. \"\" Melihat data per tahun sejak 2015, Satpol PP mencatat 16 putusan dengan barang bukti 8.818 botol isi mihol, 20 liter tuak dan jumlah denda Rp48,6 juta. Pada 2016 ada 15 putusan dengan barang bukti 13.313 botol mihol, 304 liter tuak, 38 botol air mineral 600 ml ciu, 24 botol air mineral 600 ml oplosan dan jumlah uang denda Rp45 juta. Sementara data sidang 2017 tercatat 24 putusan dengan barang bukti 8.712 botol mihol, 381 liter tuak, 69 botol air mineral 600 ml ciu dan denda uang sebesar Rp99.250.000. \"Data terakhir per Maret ada tiga putusan, barang bukti 30 liter tuak dan denda Rp40 juta masuk kas negara. Tiga putusan itu adalah kasus 2017, namun diputus 2018,\" paparnya. Satpol PP gencar melakukan sosialisasi, meski saat masuk meja persidangan selalu muncul fakta menarik. Ragam alasan diungkap para pelanggar perda mihol. Namun bagi Andi yang terpenting adalah momen penyelesaian perkara dan evaluasi. Diakuinya, salah satu kendala penerapan perda adalah proses sosialisasi. Ibarat napas harus terus menerus dilakukan selama perda masih berlaku. Penyelesaian kasus perda mihol di Kota Cirebon pun berbeda. Kota lain bisa menggunakan tindak pidana ringan (tipiring), di mana satu lembar yang dikirim pengadilan bisa langsung sidang, lain di Kota Cirebon. \"Kami lakukan pemrosesan walau hanya temuan 1 botol. Belum lama ini temuan 2 botol sanksi administrasinya Rp2 juta. Diproses pula dengan pemberkasan oleh penyidik yang kami punya,\" sebut Andi. Dia menambahkan, sejak 2013 ada hal menarik dari perubahan cara pikir Satpol PP. Bukan hanya pembinaan, kini juga melakukan penegakan secara yustisi. Saat ini Satpol PP punya penyidik yang berkoordinasi dengan kordinator pengawas (korwas) reskrim di bawah kendali Polres Cirebon Kota. Pemberkasan sebelum masuk kejaksaan lewat polres, berkas ditemukan tersangka, barang bukti, berkas perkara pun dipelajari kejaksaan. \"Jika sudah lengkap atau P21 baru siap disidangkan. Jadi prosesnya panjang,\" jelasnya. Dia tak menampik anggapan tindakan pilih kasih, bahwa hanya warung-warung kecil yang dirazia. Mengapa bukan bandar atau justru pabriknya? Andi menerangkan, cara yang selama ini dilakukan tidak sesuai dengan konteks itu. Analoginya sama seperti penerapan kawasan tanpa rokok. Di satu sisi mereka menyumbang devisa besar bagi pemerintah, untuk itu aturan regulasi ke daerah yang harus jelas. \"Proses pengamanan barang bukti pun tidak serta merta diterima kejaksaan. Harus ada uji laboratorium ke Bandung atau Bogor,\" terangnya. Pada revisi perda mihol jelas tertulis pelanggar dikenakan denda maksimal Rp5 juta atau kurungan 6 bulan. Masalah yang kerap terjadi, pelaku sudah melakukan pelanggaran lebih dari dua kali atau lebih. “Anggota dewan sebagai pemrakarsa perda harus selalu mengkaji ulang. Misalnya ada tingkatan kategori. Silakan jika memang ada kurungan sehari atau hingga 6 bulan. Ini  untuk efek jera. Masyarakat butuh kepastian,” pungkas Andi. (tta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: