Jangan Sepelekan Argentina

Jangan Sepelekan Argentina

TATKALA Piala Dunia 1990 di Italia, Argentina nyaris saja tak bisa lolos ke perdelapan final. Dikalahkan Kamerun 0-1 dan ditahan Rumania 1-1 setelah sebelumnya cuma menang 2-0 atas Uni Soviet. Kala itu, Diego Maradona cs hanya beruntung memegang tiket hiburan ke babak 16 besar sebagai salah satu peringkat ketiga terbaik. Namun ternyata tim terbaik Brasil, yang tidak terkalahkan pada tiga laga awal penyisihan, mereka pulangkan dari turnamen dengan skor 0-1 tunai. Simsalabim di perempat final dan semifinal, Argentina dengan mantera adu penalti, menghipnotis dunia dengan mengalahkan Yugoslavia dan tuan rumah Italia. Di akhir drama, lagu Don’t Cry For Me Argentina mengiringi linangan air mata Maradona yang menetes di rumput Stadion Olympico Roma. Tampil dengan gaya bermain ultra-defensif, Argentina akhirnya harus menyerah pada gol tunggal pemain belakang Jerman, Andreas Brehme. Dengan situasi yang kurang lebih sama. Kini di Piala Dunia Rusia 2018, lolos ke 16 besar, bagi Argentina, bagaikan seekor tikus melewati lubang jarum. Mengalahkan Nigeria di partai ketiga, juga bagi tim La Albiceleste, sama ibarat memasang sekrup tanpa obeng. Begitu sulitnya situasi ini, sehingga melahirkan spekulasi di luar ruang ganti. Pelatih Jorge Sampaoli telah kehilangan tongkat komandonya, atau apakah kapten Lionel Messi telah kehilangan moral kepemimpinannya. Memang, dalam tiga penampilan awal di Piala Dunia Rusia 2018 ini, ternyata juara dunia 1978 dan 1986 terlihat seperti penyanyi yang lupa lirik lagu. Mungkin suasana hati yang mirip antara Maradona tahun 1990 dengan Messi tahun 2018 saat ini. Kala itu Maradona hampir kehilangan dukungan dari fans fanatik Argentina. Yang terjadi, support mental justru mengalir dari penonton domestic, khususnya Napoli, kota di mana hampir seluruh penduduknya mendewakan Maradona sebagai pujangga klub itu dalam sejarah terbaiknya menjuarai Serie A Italia. Bahkan, menjelang laga semifinal yang memorial, dengan keberanian luar biasa, Maradona di hadapan corong pers seluruh dunia, terang-terangan meminta seluruh Italia lebih mendukung timnya Argentina daripada Italia yang kala itu dikapteni kiper legendaris Walter Zenga yang belum sekalipun kebobolan dari lima pertandingan. Kembali ke Rusia. Pemandangan menarik di tribun penonton VIP, legenda hidup Argentina Diego Armando Maradona, duduk dan berdiri gelisah manakala di partai perdana tak bisa mengalahkan Islandia. Bahkan gagalnya penalti Messi membuat Maradona menjambak rambutnya sendiri. Bintang Napoli era ’90-an itu juga berkali-kali terlihat membenturkan telapak tangan ke dahinya sendiri, kala Argentina menyerah 0-3 pada Kroasia. Namun beruntung Maradona tak mati mendadak. Dia segera dibawa ke rumah sakit kala tekanan darahnya merosot tajam seusai bergembira dengan berlebihan melihat gol Marcos Rojo memastikan posisi runner-up Grup D. Melawati rintangan awal secara dramatis dan tertatih-tatih, malam ini di Stadion Kazan Arena. Argentina dihadapkan pada persoalan baru; Prancis. Tim enerjik asuhan Didier Deschamp ini memang lebih impresif di babak penyisihan Grup C. Les Bleus sudah memastikan jatah perdelapan final kala pertandingan penyisihan masih tersisa satu. Mengalahkan Australia 2-1 dan membungkam Peru 1-0, Prancis dengan santai menahan Denmark 0-0 sekaligus menduduki posisi teratas di Grup C. Performa tim Prancis yang berisi pemain-pemain muda ini, seolah menjadi jawaban sempurna bagi Argentina yang sarat “oplet tua”. Sialnya, bagi Argentina, Prancis juga dikenal sebagai tim yang lambat panas. Biasanya mereka akan semakin menggila kala mencapai jarak tempuh ideal. Titik penting bagi Prancis itu rasanya mulai terjadi di perdelapan final ini. Banyak pengamat mengatakan, Paul Pogba, pemain muda terbaik di Brasil 2014 lalu, dan Antoine Grizmann, peraih Golden Boot sebagai top scorer Euro 2016 lalu, dalam penampilan si Ayam jantan Prancis selama 270 menit awal, belum menunjukkan taji yang berarti. Tiga gol tercipta belum mendeskripsikan bagaimana sesungguhnya Prancis. Rasanya di tengah kebingungan Sampaoli, mungkin seharusnya Maradona membisiki telinga Messi, “Angap saja Prancis picisan ini seperti Brasil pecicilan 28 tahun yang lalu.” Tapi dasar si mulut ember Maradona, malah sebaliknya dia mencerca Sampaoli sebagai pelatih tolol yang tak mengerti karakter tim. Padahal Maradona sendiri tak bisa berbuat apa-apa di Afrika Selatan 2010, kala Messi dipermalukan 0-4 oleh Jerman di perempat final. Benar kalau diumpamakan, Argentina saat ini bagai kapal bocor di tengah badai. Namun sepak bola, khususnya Piala Dunia, adalah samudera harapan yang sering memberi kehidupan di detik-detik terakhir. Jadi, bagi yang sudah terlanjur menyepelekan Argentina dan dengan teguh memegang Prancis di perdelapan final pertama malam ini, rasanya masih ada waktu beberapa jam untuk mengingat menimbang dan memutuskan, apakah sepak bola pernah memberi kepastian dalil seperti matematika. Satu lagi laga bigmatch dini hari nanti, masih partai sengit Amerika Selatan dengan Eropa, yakni juara Grup A Uruguay dengan runner-up Grup B, Portugal. Uruguay yang sapu ranjau dengan 5 gol tanpa balas di 3 laga awal dengan poin sempurna 9, harus menhadapi ujian dari juara Eropa Portugal. Catatan penting untuk laga ini. Pelatih tertua Oscar Washington Tavarez, telah membangun fondasi tim ini lebih dari 12 tahun. Kini dengan bantuan tongkat kakinya, otaknya masih sempurna meracik taktik. Dan rasanya dia akan memeroleh lawan tangguh Fernando Santos. Dia juga dikenal pandai mengganti formasi permainan dengan materi yang dimilikinya sekarang. Kontrasnya, jika Edison Cavani dan Luiz Suarez masih clingak-clinguk dengan bola-bola liar, sebaliknya, Christiano Ronaldo sudah masuk gigi 5. (*) *Catatan Kurniadi Pramono

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: