Mengenal Trans Papua Lahir Sejak Bapak Pembangunan Soeharto
![Mengenal Trans Papua Lahir Sejak Bapak Pembangunan Soeharto](https://radarcirebon.disway.id/upload/2018/12/IMG_20181206_073440.jpg)
Proyek Trans Papua di wilayah proyek Mamugu dan Wamena kini dihentikan sementara. Keputusan itu diambil menyusul peristiwa pembunuhan di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Minggu (2/12/2018) kemarin. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan nasib proyek masih belum jelas dan menunggu sampai perburuan kelompok bersenjata selesai. Perburuan ini diprediksi memakan waktu cukup lama karena lanskap wilayah yang cukup sulit ditembus. \"Kami menunggu sampai kondisi kondusif sesuai dengan rekomendasi Panglima Kodam dan Kapolda Papua,\" kata Basoeki di kantornya, Selasa (5/12/2018) kemarin. Bicara tentang Trans Papua, Presiden Joko Widodo boleh berkata bahwa proyek pembangunan jalan itu sangat masif semasa kepemimpinannya. Jika tak ada aral, proyek itu akan rampung pada 2019. Namun, Jokowi bukanlah pelopornya. Proyek itu sudah berjalan sejak 38 tahun lalu. Jalan Trans Irian Jaya yang kini tengah jadi soroton itu mulai dibangun pada pengujung 1980. Proyek ini ditargetkan menjadi pemecahan bagi keterisolasian dan kebuntuan pembangunan di Irian Jaya. “Insya Allah karya saudara-saudara tetap akan tercatat dalam sejarah pembangunan bangsa di masa kini dan yang akan datang,” ucap Gubernur Irian Jaya H. Sutran dalam peresmian proyek jalan Trans Irian Jaya di Jayapura, 10 Desember 1980. Di masanya pun ini adalah proyek raksasa. Dana sebesar Rp24,7 miliar dikucurkan dari APBN khusus untuk membiayainya. Disebut pula bahwa proyek ini seluruhnya ditangani oleh tenaga ahli Indonesia dan ditarget selesai dalam tiga tahun—yang nanti terbukti muskil. Harian Kompas edisi 12 Desember 1980 menyebut bahwa proyek ini akan dibagi dalam tiga jalur. Masing-masing jalur itu digarap oleh kontraktor berbeda. Jalur pertama menghubungkan Nabire dan Ilaga membentang sepanjang 300 km dikerjakan oleh PT Porta Nigra. Jalur kedua menghubungkan Jayapura dan Oksibil melalui daerah Abepura dan Ubup sepanjang 300 km. Jalur yang membentang paralel dengan perbatasan Indonesia-Papua Nugini ini dikerjakan oleh PT Nindya Karya. Sementara jalur ketiga akan menghubungkan Merauke dan Digul via Bupul sepanjang 250 km dengan kontraktor PT C. Igombong. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Irian Jaya kala itu, Ir. Assaariromuzon, sebagaimana dikutip Kompas menyatakan bahwa tujuan pembangunan jalan Trans Irian Jaya itu adalah untuk memperlancar kegiatan administrasi dan ekonomi masyarakat. Dia juga menyatakan bahwa adanya akses jalan itu akan memperluas daerah pemukiman bagi program transmigrasi nasional. Proyek ini disebut raksasa juga lantaran yang dibangun adalah pioneer road. Medan yang bakal dihadapi oleh para kontraktor tak main-main. Mereka akan berhadapan dengan lanskap pegunungan tengah Irian Jaya yang masih berupa hutan tropis perawan, dataran tinggi, bukit terjal, dan rawa-rawa. Dan benar saja, para kontraktor tak mampu menembus medan berat itu dalam waktu yang direncanakan. Hingga pada 1985 diluncurkan proyek lanjutan dengan dana yang lebih besar oleh pemerintah pusat. Skalanya pun agak lebih besar, mencakup pembangunan tiga jalur utama dan beberapa jalur tambahan. Disebut dalam Kompas edisi 23 Oktober 1998, fokus proyek ini adalah menghubungkan daerah-daerah di sekitar Pegunungan Tengah. Pemerintah menjadikannya prioritas karena mayoritas penduduk Irian Jaya—sekitar 70 persen—bermukim di wilayah ini. Jalur pertama jalan Trans Irian Jaya menghubungkan Jayapura dan Wamena. Lalu, jalur keduanya menyambungkan Merauke dan Jayapura melalui Waropko, Oksibil, dan Ubrub. Sementara jalur ketiga menghubungkan Nabire dan Wamena via Enarotali dan Ilaga. Dalam proyek kali ini, Pemerintah Pusat bersikap lebih realistis. Berkaca dari kegagalan proyek sebelumnya, Pemerintah sadar bahwa proyek ini tak bisa cepat dan harus berkompromi dengan kualitas. Standar jalan “all weather compact aggregated subgrade” yang jadi target proyek sebelumnya tak lagi jadi target utama. Bahkan, Kompas edisi 10 September 2001 melaporkan, “Agar impian pembangun tiga jalur utama jalan trans itu masuk akal, maka megaproyek yang betul-betul menelan dana triliunan rupiah itu, diasumsikan seperti pembangunan jalan di Jawa.” Namun, meskipun tampak mulia tak semua kalangan mendukung proyek Trans Irian Jaya ini. Sosiolog Selo Sumardjan, misalnya, memandang pembangunan jalan itu belum diperlukan. Menurutnya yang harus didahulukan di Irian Jaya adalah pembangunan sumber daya manusia penduduk asli. Pasalnya, jika pembangunan selesai dan Irian Jaya mulai dipenuhi pendatang, penduduk asli yang tak siap justru akan terdesak. Kala itu, yang mestinya diprioritaskan pemerintah adalah penguatan tiga komponen sosial di Irian Jaya. Itu meliputi pemerintahan, adat dan agama. “Kita harus melihat peranan tiga kekuatan itu secara realistis,” kata Selo Sumardjan dikutip Kompas edisi 29 April 1986. Pendapat itu juga didukung oleh Direktur LP3ES Aswab Mahasin. Menurutnya, pemerintah perlu lebih dulu memahami masyarakat dan budaya Irian Jaya. Tanpa pengetahuan itu, kebijakan-kebijakan yang dilakukan di sana tak akan optimal karena tak menyentuh akar masalah. Meski dikritik demikian, proyek Trans Irian Jaya jalan terus. Bahkan, pada 1990 pembangunan jalan di Irian Jaya masuk dalam program prioritas Pelita V. Proyek itu meliputi 15 ruas jalan dengan panjang total 3.870 km.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: