Aliran Dana Retribusi PKL Disoal
Ada yang tanpa Karcis, Uangnya untuk Siapa? SUMBER- Polemik wacana penertiban pedagang kali lima (PKL) di sekitar Pasar Pasalaran berimbas pada persoalan uang retribusi. Ya, para pedagang menyoal. Disperindag Kabupaten Cirebon tentang pungutan retribusi dan ke mana larinya uang-uang tersebut. Kabar yang beredar, ada oknum yang ikut bermain dalam persoalan ini. Salah satu pedagang pakaian, Akodi (40), mempertanyakan ke mana perginya uang tagihan itu. Menurutnya, karcis atau retribusi yang dikeluarkan disperindag tidak jelas. “Sebetulnya itu penarikan retribusi legal atau ilegal? Kalau tidak ada kejelasan seperti ini, tindakan disperindag patut dipertanyakan,” tutur Akodi kepada Radar, Senin (25/3). Apa yang dilakukan disperidag, kata Akodi, sangat tidak manusiawi. “Mereka memungut retribusi, tapi dana itu tidak jelas diperuntukkan untuk apa. Karena tidak ada kejelasan. Ada yang pura-pura lupa membawa karcis,” katanya. Hal senada diungkapkan Sarmin (40), pedagang gorengan. Apa yang dilakukan disperindag, kata dia, patut dipertanyakan. Pernyataan disperindag bahwa uang retribusi hanya berlaku bagi pedagang yang berada di radius tertentu, dibantah Sarmin. “Yang memakan bahu jalan, yang katanya melanggar, tepat dikenakan retribusi. Tapi retribusi tersebut tidak menggunakan karcis sebagai tanda bukti. Ini kerjaan siapa? Kami butuh penjelasan soal tindakan seperti itu,” ketus Sarmin. Secara terpisah, Kabid Ketertiban Satpol PP Kabupaten Cirebon Drs E Kusaeri MSi mengatakan, pihaknya mendapati pedagang yang dikenai retribusi tanpa karcis. “Kalau tidak disertai karcis, uang retribusi tidak disetorkan ke kas pemerintah daerah. Kalau demikian, jelas ada ketimpangan-ketimpangan yang dilakukan oleh oknum disperindag. Dilarikan ke mana uang tersebut. Wajar jika pedagang mempersoalkannya,” tandas Kusaeri. Dijelaskan, pemungutan retribusi masih terjadi hingga sekarang. “Kadang-kadang siang Rp1.500, ditambah Rp600 untuk kebersihan, belum lagi kalau buka malam lagi, PKL harus membayar Rp1.500 lagi. Berarti itu kan Rp3.600 jumlahnya. Itu hanya dari satu PKL,” tandasnya. Posisi Satpol PP, kata Kusaeri, hanya ingin meluruskan disperindag, bukan menginginkan bagian dari retribusi tersebut. “Jadi kalau kita operasi, pasti mereka melawan karena merasa membayar retribusi,” jelas Kusaeri. Ditambahkan, yang menjadi alasan bagi disperindag untuk PKL adalah berdasarkan perda yang di dalamnya jarak radius 300 meter terkena retribusi. Tapi pada pelaksanaanya semua PKL, baik yang melanggar dan tidak, dipungut uang retribusi. Terpisah, Kabid Pengelolaan Pasar Disperindag Kabupaten Cirebon Zaenal Abidin menegaskan disperindag tak melakukan penyelewengan dana retribusi di setiap pasar. “Uang tersebut dikembalikan lagi untuk pengelolaan pasar, bukan dikorupsi,” katanya. Dikatakan, semua uang retribusi di setiap pasar yang ada di Kabupaten Cirebon d kumpulkan setiap satu minggu sekali, dan itu dilakukan di kantor disperindag. “Setiap hari Selasa, kami mengumpukan uang retribusi dari setiap kepala pasar dan dihitung oleh bendahara pembantu. Kemudian semua dihitung dan dimasukkan ke dalam rekening kas daerah di Bank Jabar,” akunya. Dijelaskan, setoran tersebut ditarget setiap minggu 2 persen dari apa yang ditargetkan pemkab. Angka 2 persen tersebut sekitar Rp32.776.900, dan diminggu ketiga di bulan Maret retribusi yang masuk sudah mencapai Rp327.163.700 bisa dikatakan baru 18, 96 persen, sedangkan target dari pemkab sendiri dari retribusi sebesar Rp1.725.878.400. Dari 8 pasar yang ada di Kabupaten Cirebon, retribusi yang disetorkan berbeda-beda, disesuaikan dengan luas pasar dan jumlah pedagang. Pasar Palimanan misalnya, tiap minggu menyetorkan retribusi Rp4.538.800, Sumber Rp4.290.000, Cipeujah Rp2.717.300, Babakan Rp1.390.000, Ciledug Rp5.257.600, Pasalaran Rp.9.847.000, Pasar Kue Weru Rp1.253.000, dan Pasar Jamblang sebesar Rp3.483.200,” pungkasnya. (sam)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: