Kota Berkelanjutan: Cirebon Membangun Kota Tanpa Luka
Richard Register adalah orang yang pertama kali mencetuskan ide kota berkelanjutan ini. Tahun 1987, ia menulis sebuah buku berjudul Ecocity Berkeley: Building City for Healthy Future. Ia meyakini bahwa pembangunan kota harusnya tidak hanya memperhatikan sisi ekonomi saja, tetapi juga kualitas hidup manusia di dalamnya. Kota yang berkelanjutan atau sustainable city bisa didefinisikan sebagai kota yang didesain tanpa mengabaikan dampak lingkungan. Sebuah kota bisa dikatakan berkelanjutan jika ia memperhatikan keseimbangan harmonis antara perkembangan kotanya dengan perkembangan lingkungannya. Sebab jika salah satunya rusak, yang terjadi adalah ketidakberlanjutan sistem. Baca: Cirebon dan Mimpi Kota Masa Depan Cirebon adalah kota di mana ketimpangan tampak nyata. Tepat di sekitar pinggiran sungai Sukalila, masih banyak pedagang kaki lima. Cirebon juga bukan kota yang ramah bagi para pengendara sepeda. Pejalan kaki juga direnggut haknya. Tak semua jalan ada trotoar. Kalaupun ada, sebagian besar sudah menjadi lapak para pedagang. Tak heran jika warga Cirebon malas jalan kaki dan bersepeda. Penggunaan mobil yang masif berarti penggunaan bahan bakar dan polusi yang juga masif, dan tentu saja, berdampak pada kemacetan dan ketidaknyamanan pengguna jalan itu sendiri. Padahal, salah satu cara masyarakat menghemat energi adalah dengan menggunakan transportasi umum, berjalan kaki, atau bersepeda. Dalam riset terbaru Arcadis yang mengurutkan kota-kota paling berkelanjutan di dunia, Zurich kota terbesar di Swiss berada di peringkat pertama. Ini berarti, menurut versi Arcadis, Zurich adalah kota paling berkelanjutan di dunia. “Zurich memiliki reputasi yang kuat sebagai kota kontemporer yang layak ditinggali karena fokusnya pada lingkungan hidup sama terkenalnya dengan lembaga keuangannya,” tulis Arcadis dalam laporannya. Ada tiga pilar keberlanjutan yang dijadikan Arcadis indikator dalam mengurutkan kota-kota ini. Ketiganya adalah people, planet, profit atau manusia, lingkungan, dan ekonomi. Dari tiga pilar itu, pengurutan dilakukan dengan mengukur performa masyarakat, termasuk kualitas hidup, melihat penggunaan energi, polusi, dan emisi serta menilai lingkungan bisnis dan kesehatan ekonomi. Kota-kota di dunia tentu memiliki tekanan atau permasalahan dari berbagai aspek. Beberapa permasalahan seperti pertumbuhan penduduk atau mobilitas tentu bisa diperkirakan. Aspek lain seperti ketidakpastian politik dan bencana alam akan lebih sulit diprediksi. “Menyeimbangkan kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan di hari esok adalah jantung dari kota berkelanjutan,” ujar John Batten, Global Director of Water and Cities Arcadis. Singapura, negara tetangga Indonesia berada di peringkat kedua. Ia mengalahkan kota-kota besar Eropa lainnya seperti London, Vienna, bahkan Frankfurt yang tahun lalu ada di peringkat teratas. Dari tiga aspek yang menjadi indikator, Singapura sebenarnya tak terlalu menonjol dalam hal manusia dan lingkungan. Ia paling menonjol dalam hal ekonomi. Jika dirinci, dalam hal ekonomi, Negeri Merlion ini ada di peringkat pertama. Dari segi lingkungan, ia ada di urutan ke 12. Sedangkan dalam hal manusia, ia menduduki peringkat 48. Arcadis melaporkan bahwa sejumlah inisiatif berkelanjutan saat ini sedang berlangsung secara proaktif di Singapura. “Meskipun menjadi yang terbaik di Asia dan peringkat dua dunia, kota ini terus proaktif,” tulis Arcadis dalam laporannya. Hal itu tampak dari komitmen pemerintah untuk berinvestasi meningkatkan mobilitas dan konektivitas dalam menghadapi prediksi pertumbuhan jumlah penduduk pada 2030. Investasi tersebut mencakup pembangunan dua jalur bawah tanah yang baru, perpanjangan empat jalut MRT, terminal dan landasan pacu baru di Bandara Changi, serta jalur kereta kecepatan tinggi yang menghubungkan Singapura dan Malaysia. Akan sangat sulit bagi Jakarta untuk menjadi Singapura. Kota dengan jumlah pendatang paling banyak di Indonesia ini tak akan mudah bisa berbenah. Jakarta menjadi pusat dari banyak hal. Pusat industri, bisnis, pemerintahan, hiburan, hingga pendidikan. Tak heran jika manusia dari kota-kota lain akan berbondong ke Jakarta untuk sekolah, bekerja, hingga akhirnya beranak pinak. Selama Jakarta masih dijadikan pusat segala-gala, ia akan kesulitan menjadi sebuah kota berkelanjutan. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: